Sabtu, 06 Juli 2013

MAKALAH PENGANTAR STUDI ISLAM

DAFTAR ISI

COVER.............................................................................................................................   
Kata Pengantar....................................................................................................................
Daftar Isi............................................................................................................................
BAB I...............................................................................................................................
PENDAHULUAN..............................................................................................................
I.1. Latar Belakang....................................................................................................
I.2. Rumusan Masalah...............................................................................................
I.3. Tujuan Penulisan Makalah..................................................................................
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pendekatan Teologis...........................................................................................
2.2. Pendekatan Yuridis.............................................................................................
2.3. Pendekatan Psikologis........................................................................................
2.4. Pendekatan Historis............................................................................................
2.5. Pendekatan Antropologis...................................................................................
2.6. Pendekatan Sosiologis........................................................................................
2.7. Pendekatan Filosofis ..........................................................................................
2.8. Pendekatan Fenomenologis................................................................................

BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
3.2. Saran
DAFTAR PUSTAKA





BAB I

PENDAHULUAN
1.1.    Latar Belakang
Dwasa ini, untuk membangun pandangan-pandangan Islam, diperlukan pengembangan kemampuan personal. Dalam pandangan tersebut, pengembangan kemampuan personal merupakan persiapan yang bermanfaat untuk meneliti pemahaman terkait suatu pendidikan, khususnya mengenai pendidikan Islam (studi Islam). Terdapat suatu upaya dan tenaga untuk mengembangkan Islam seperti sekarang ini. Namun tak menutup kemungkinan upaya-upaya tersebut haruslah berlaku hingga sekarang. Sebab permasalahan-permasalahan dan berbagai cara pandang mengenai Islam semakin hari semakin kompleks. Butuh adanya jalan tengah yang bisa menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut.
Salah satu jalan tengah dari permasalahan permasalahan adalah melalui pendekatan-pendekatan. Pendekatan-pendekatan tersebut, diharapkan dapat menjawab atas semua permasalahan yang terjadi.
Pendekatan-pendekatan yang digunakan, antara lain pendekatan teologis, yuridis, psikologis, historis, antropologis, sosiologis, filosofis, dan fenomenologis. Untuk lebih jelasnya, pendekatan-pendekatan tersebut akan dijabarkan dalam bab selanjutnya.
1.2.    Rumusan Masalah
1.    Pendekatan apa sajakah yang digunakan dalam konteks studi Islam?
2.    Bagaimana penjelasan dari masing-masing pendekatan?
1.3.    Tujuan Penulisan Makalah
Untuk menjelaskan pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam konteks studi Islam.



BAB II
PEMBAHASAN
Dalam studi Islam, diperlukan adanya pendekatan-pendekatan yang bertujuan untuk mencari dan memahami Islam dan hal-hal yang terkait didalamnya. Ada beberapa pendekatan yang digunakan dalam studi Islam. Diantaranya yaitu pendekatan teologis, yuridis, psikologis, historis, antropologis, sosiologis, filosofis, dan fenomenologis.
2.1.    PENDEKATAN TEOLOGIS

1.    Pengertian Teologi
Istilah teologi lahir dalam tradisi Kristen.Secara harfiyah, teologi berasal dari bahasa Yunani, theosdan logos yang berarti ilmu ketuhanan. Istilah teologi dalam bahasa Yunani tersebut, dalam tradisi Islam dikenal dengan ilmu kalam yang berarti perkataan-perkataan manusia tentang Allah.Tetapi pengertian ini menurut Steenbrink (1987:10) dianggap kurang cocok karena teologi memang tidak bermaksud membicarakan problematika mengenai ketuhanan, baik wujud, sifat, dan perbuatan-Nya, yang dalam khasanah islam disebut ilmu kalam. Teologi tidak identic dengan ilmu kalam atau ilmu luhut yang oleh Al-Ahwani diartikan sebagai rangkaian argumentasi rasional yang disusun secara sistematik untuk memperkokoh kebenaran akidah agama Islam (Al-Ahwani, 1995:17).A. Hanafi mengartikan ilmu kalam sebagai upaya mempertahankan keyakinan seputar masalah ketuhanan dari serangan-serangan pihak luar dengan menggunakan pendekatan filsafat atau dalili-dalil aqli.
Dalam Encyclopaedia of Religion and Religions, dikatakan bahwa teologi adalah ilmu yang membicarakan tentang tuhan dan hubungan-Nya dengan alam semesta, namun sering kali diperluas mencakup seluruh bidang agama.Dengan demikian, teologi memiliki pengertian luas dan identic dengan ilmu agama itu sendiri.Dalam diskursus ilmiah, istilah teologi biasanya memiliki arti yang khusus.Teologi, kata Pidekso, sebagai upaya seluruh orang beriman dalam menangkap, memahami serta memberlakukan kehendaktuhan melalui konteksnya (Ambednego, 1994:15).Teologi adalah refleksi orang yang beriman tentang bagaimana bentuk atau nilai-nilai kualitas iman yang dimilikinya. Kata Anselmus, teologi adalah fides quaren intellectum, iman yang mencari pengertian (Amin, 1988: ix).
Teologi juga dapat dilihat dari tiga segi: teologi actual yaitu berteologi yang melahirkan keprihatinan iman dalam wujud tingkah laku sehari-hari; teologi intelektual, yaitu teologi yang melahirkan pemikiran keagamaan berjilid-jilid yang hanya dipahami oleh para alim dibidang ini dan teologi spiritual yang melahirkan perilaku mistik.
2.    Teologi sebagai Metode Studi Islam
Pendekatan teologi dalam studi agama adalah pendekatan iman untuk merumuskan kehendak Tuhan berupa wahyu yang disampaikan kepada para nabinya agar kehendak tuhan itu dapat dipahami secara dinamis dalam konteks ruang dan waktu.Karena itu, pendekatan teologis dalam studi agama disebut juga pedekatan normative dari ilmu-ilmu agama itu sendiri. Secara umum, metode teologis/normatifdalam studi agama bertujuan untuk mencari pembenaran  dari suatu ajaran agama atau dalam rangka menemukan pemahaman/pemikiran keagamaan yang lebih dapat dipertanggung jawabkan secara normative idealistik.
Dalam Islam, metode teologis, khususnya teologi intelektual, telah melahirkan ilmu-ilmu keagamaan yang mantap, baik objek maupun metodologinya. Ilmu-ilmu keagamaan itu antara lain ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu fikih, ilmu akhlak/tasawuf dan ilmu klam yang masing-masing memiliki cabang atau ilmu bantunya. Ilmu tafsir misalnya memiliki ilmu bantu seperti ulun Al-Qur’an, asbab al-nuzul dan balaghah. Walaupun ilmu-ilmu keagamaan berdiri sendiri, tetapi tetap memerlukan satu kesatuan yaitu dalam rangka menangkap dan menjelaskan kehendak tuhan.
3.    Hubungan antara Teologi dan Studi-Studi Keagamaan
Ada tiga konsekuensi terhadap teologi dan studi-studi keagamaan:
a.    Jelas bahwa teologi Kristen dengan sendirinya tidak dapat menjadi satu-satunya kunci bagi “rethinking” ini. Teologi-teologi lain Muslim, Yahudi, Hindu, Budha, dan Konghucu masing-masing memiliki peranya sendiri. Demikian pula, studi-studi keagamaan memainkan peran signifikan karena perannya secara inheren lebih luas dibandingkan peran teologi Kristen, dan pencarian atas teologi global muncul baik dalam lingkungan studi-studi keagamaan maupun dalam teologis.
b.    Studi-studi keagamaantelah meiliki tempat dalam dua model diantara model-model yang telah dipaparkan diatas. Oleh karena itu, terjadi perdebatan yang terus menerus tentang apakah ia harus ditempatkan dalam departemen teologi atau departemen humanitas (departemen ilmu social). Lebih dari kebanyakan wilayah studi lainnya, studi keagamaan mencakup beragam metode dan pendekatan dan olehkarena itu, bagaimanapun juga ia memiliki pengaruh yang luas terhadap pengetahuan. Teologi tampaknya juga perlu memperluas focus intelektualnya pada wilayah pengetahuan yang lebih luas dan membantu proses “rethinking” sekalipun kerangka kerja tradisinya bersifat partikular yang menjadikannya lebih rumit daripada studi-studi keagamaan.
c.    Studi keagamaan dan teologi menyadari bahwa keduanya memiliki tugas yang penting dalam ketiga proses pengetahuan dan ketiga model pengetahuan yang di kemukakan di atas, tidak semata dalam segmennya sendiri. Dalam banyak lingkaran, perlahan mulai tumbuh kesadaran mengenai komplementaritas antara teologi dan studi-studi keagamaan dalam agama dunia global.
4.    Teologi Agama-Agama (Theology of Religions)
Bagi umat Hindu semenjak era klasik, konsep-konsep kunci tertentu telah menjadi parameter bagi way of life Hindu. Konsep itu berpusat pada gagasan tentang Brahmana sebagai realitas ultimate di balik alam, Atman sebagai diri inner dalam manusia, nasib manusia sebagai lingkaran kelahiran kembali yang terus-menerus, penyelamatan sebagai pelapisan diri dari kelahiran kembali, cara-cara penyadaran inner (jnana), ketaatan (bhakti), dan terlibat aktif di dunia (di bawah kuasa Tuhan) sebagai jalan penyelamatan, dan peran berbagai dewa personal seperti Shiwa, Wisnu, Dewi, dan dua inkarnasi dasar dari Wisnu (avataras) yakni Rama dan Khrisna. Dalam kaitan dengan tradisi Budhis menolak gagasan tentang ketuhanan (dalam pengertian Brahmana), dan bahkan (real self) diri yang sesungguhnya (dalam pengertian Atman) dan menggunakan kata seperti “transendentologi” sebagai ganti teologi untuk mengakomodasi gagasan-gagasan Budhis tentang Nirwana dan Dharma yang memiliki nuansa transendensi.
Dalam menganalisis teologi-teologi agama (theology of religion), sarjana agama akan menemui sejumlah perbedaan teologis dalam tradisi-tradisi keagamaan. Perubahan itu bias jadi merupakan perbedaan subtansi atau perbedaan cara kerja teologi (ways of doing theology). Perbedaan yang terdapat dalam tradisi itu dapat bertepatan dengan perbedaan-perbedaan lintas tradisi atau justru tidak bersesuaian.
Terdapat beragam tipe teologi dalam masing-masing tradisi. Secara mendasar terdapat empat macam tipe:
1.    Tipe teologi deskriptif, historis, positivistic yang disukai para sejarahwan dalam setiap tradisi yang berusaha mendeskripsikan apa yang fungsional secara doctrinal tanpa mengabaikan pertimbangan lain. Tipe ini merupakan tipe yang terdekat dengan teologi fenomenologis, dan lebih memfokuskan pada deskripsi daripada pengakuan siman.
2.    Tipe teologi sistematik yang berusaha meringkas doktrin-doktrin dari komunitas beriman dalam suatu pengertian pengakuan (confessional). Dalam hal ini, tidak ada upaya agar menjadi bebas nilai, tetapi dimaksudkan untuk mengkonstruksi posisi-posisi doctrinal dan persasian keimanan dengan suatu cara yang akan meningkatkan tradisi itu. Seluruh tradisi keagamaan memiliki tipe tipologi ini.
3.    Tipe teologi filosofis yang berusaha terlibat dengan posisi-posisi lain pada tingkat filosofis, dengan membawa dan memberikan reaksi kepadanya secara serius. Salah satu tujuannya mungkin tetap apologetik yakni mempertahankan dan menonjolkan posisinya sendiri dengan argument yang ternalar. Terdapat apa yang secara lebih luas disebut dengan teologi dialog. Waktu-waktu terakhir , tipe ini lebih lazim namun bukan berarti di masa lalu tidak ada. Tipe ini mengandung keinginan secara sengaja untuk memahami tradisi-tradisi lain demi kepentingannya sendiri, bukan semata-mata karena alasan apologetik. 
4.    Teologi Agama-Agama Global: Ke Arah Etika Global
Pada tanggal 4 September 1993, dalam suatu pertemuan yang menandai seratus tahun Chicago world parliament of religion 1893, diluncurkan suatu deklarasi kearah suatu etika global.Meskipun panjang, hal ini patut dikutip secara sempurna.
Kami Menyatakan:
Kita saling bergantung.Masing-masing kita bergantung pada kesejahteraan keseluruhan dan oleh karenanya, kita menghargai komunitas segala yang hidup; manusia, binatang, tumbuhan, pelestarian bumi, udara, air, dan minyak.
Kita memilki pertanggung jawaban individual atas segala yang kita lakukan.Seluruh keputusan, perbuatan, dan kegagalan kita dalam bertindak memilki konsekuensi.
Kita harus memperlakukan pihak lain sebagaimana kita ingin diperlakukan oleh mereka.
Kita membuat suatu komitmen untuk menghormati kehidupan dan harkat, individualitas dan diversitas sehingga setiap orang diperlakukan secara manusiawi, tanpa terkecuali.Kita harus memilki kesabaran dan sikap menerima.Kita harus dapat memaafkan, belajar dari masa lampau namun tidak pernah membiarkan dirikita diperbudak oleh memori kebencian. Membuka hati untuk orang lain.
Kita mempertimbangkan keluarga kita.Kita harus berusaha keras untuk menjadi baik dan murah hati. Kita hidup harus tidak untuk  diri kita sendiri tetapi juga mesti untuk orang lain, tidak pernah melupakan anak-anak, orang lanjut usia, orang miskin, orang yang menderita, cacat, pengungsi, dan orang-orang yang sebatang kara.
Kita commit pada suatu kebudayaan tanpa kekerasan, penuh penghargaan, keadilan, dan kedamaian. Kita tidak akan menindas, melukai, menganiaya, atau membunuh manusia lain, meninggalkan kekerasan sebagai cara menyelesaikan perbedaan.
Kita harus berusaha keras mewujudkan aturan social dan ekonomis yang adil di mana setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai potensi yang sempurna sebagai seorang manusia. Kita harus berbicara dan berbuat dengan segala kesungguhan dan dengan rasa keharuan, berlaku jujur terhadap semua orang dan menghindari prasangka dan kebencian.
Kami menyeru seluruh manusia, entah yang religious maupun tidak, untuk melakukan hal yang sama.
Tujuan pendekata teologi ini adalah memahami agama, memahami system-sistem konseptual agama di dalam dan antar agama, termasuk etika-etika agama.
2.2.    Pendekatan Yuridis
Yuridis adalah hukum, jadi yamg dmaksud dengan pendekatan yuridis adalah pemahaman agama islam secara hukum menurut islam. Hukum yang dpakai umat islam adalah berdasarkan AL-QUR’AN dan WAHYU yang diturunkan ALLAH kepada para NABI. Islam mengajarkan manusia untuk `mentaati peraturan, sedangkan peraturan merupakan hukum itu sendiri. Dalam pelaksanaannya manusia kurang menyadari bahwa pendekatan yuridis sudah dialami oleh para Nabi. Islam adalah agama. Perkembangan yuridis itu sendiri prosesnya dapat dibagi menjadi 4 periode:
1.    Periode Nabi
2.    Periode Sahabat
3.    Periode Ijtihad dan kemajuannya
4.    Periode Taklid dan kemundurannya

1.    Periode Nabi
Segala persoalan dikembalikan kepada Nabi untuk menyelesaikan setiap masalah yang ada, karena Nabi merupakan sumber hokum. Secara tekstual pembuat hokum adalah Nabi, tetapi secara kontesktual pembuat hokum adalah Allah, karena hokum yang dikeluarkan Nabi bersumber pada wahyu dari Allah. Nabi sebenarnya bertugas menyampaikan dan melaksanakan hokum yang ditentukan oleh Allah. Sumber hokum yang ditinggalkan Nabi untuk umatnya setelah zamanya adalah Al-Qur’an dan Sunnah.
2.    Periode Sahabat
Pada zaman para sahabat daerah yang dikuasai islam semakin luas. Daerah-daerah yang diluar Semenanjung Arabia telah mempunyai kebudayaan yang lebih maju dan susunan masyarakat yang modern dibandingkan dengan masyarakat Arabia ketika itu. Jadi persoalan-persoalan yang dihadapi pada periode sahabat kepada masyarakat yang berada di daerah baruitu lebih sulit penyelesainnya dibandigkan dengan persoalan yang dihadapi masyarakat Arabia itu sendiri.
Untuk mencari penyelesaiannya para sahabat kembali kepada Al-Qur’an sunnah yang ditinggalkan Nabi. Al-Qur’an sendiri pada masa sahabat dihafal sedangkan sunnah tidak dihafal oleh semua sahabat, setelah Al-Qur’an dihafal oleh semua sahabat maka pada masa kholifah Abu Bakar Al-Qur’an dibukukan sedangkan sunnah (hadits) tidak dibukukan karena para sahabat lebih condong kepada Al-Qur’an.
Pada masa sahabat mempunyai masalah yang tidak bisa dselesaikan karena mereka sudah mencari didalam al-qur’an dan hadits tidak bias menyelesaikan masalah tersebut, maka mereka berijtihat untuk menyelesaikan masalah. Tetapi turunya wahyu Cuma pada periode Nabi maka para sahabat melakukan ijma’ atau konsesus sahabat. Maksudnya ijma’ yaitu kholifah tidak memutuskan masalah hokum dengan sendiri tetapi bertanya lebih dahulu kepada para sahabat yang lainnya.
Sumber hokum yang ditinggalkan para sahabat adalah Al-Qur’an, Sunnah Nabi dan Sunnah sahabat.
3.    Periode Ijtihad
Pada periode ini islam mengalami kejayaan yang terjadi pada tahun 700-1000 Masehi. Periode ini juga disebut periode pengumpulan hadist, ijtihad atau fatwa sahabat dan tabi’in (generasi setelah sahabat). Sesuai dengan bertambah luasnya daerah islam, berbagai macam bangsa masuk islam dengan membawa berbagai macam adat-istiadat, tradisi dan system kemasyarakatan. Problematika hokum yang dihadapi beragam. Untuk mengatasi para ulam-ulama banyak mengadakan ijtihad. Ijtihad mereka berdasarkan al-qur’an, sunnah nabi, sunnah sahabat. Maka timbullah ahli-ahli hokum mujtahid  yang disebut imam atau faqih (fuqaha’) dalam islam.
Maka kita saat ini mengenal dengan nama mahzah yang dimana kita ketahui ada 4 mahzab yaitu :mahzab Hanafi, mahzab Maliki, mahzab Syafi’I dan mahzab Hambali.
4.    Periode Taklid
Periode taklid tejadi pada abad ke-4 Hijriah (abad ke-11 Masehi) bersamaan dengan kemunduran islam dalan sejarahnya. Masyarakat sudah tidak tetuju pada sumber-sumber hokum yang telah ada sebelum periodenya, tetapi mereka lebih tetu hanya untuk mempertahankan hokum menurut mahzabnya masing-masing setiap individu atau kelompok. Ulama-ulama kaliber besar yang sederajat dengan Abu Hanafiah, Maliki, Syafi’I dan Ibnu Hambal sudah tiadak ada lagi dan ijtihad yang dijalankan para ul;ama belum mencapai derajat yang mujtahid, maka mereka hanya membawa kekacauan dalam bidang hokum dan dalam masyarakat.
2.3.    Pendekatan Psikologis
Psikologi atau Ilmu Jiwa adalah ilmu yang mempelajari jiwa seseorang melalui gejala perilaku yang dapat diamatinya. Menurut Zakiah Daradjat bahwa perilaku seseorang yang nampak jahiriyah terjadi karena dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya. Seseorang ketika berjumpa saling mengucapkan salam, hormat kepada kedua orang tua, kepada guru, rela berkorban untuk kebenaran dan sebagainya adalah merupakan gejala-gejala keagamaan yang dapat dijelaskan melalui ilmu jiwa agama. Ilmu jiwa agama sebagaimana dikemukakan oleh Zakiah Darajat tidak akan mempersoalkan benar tidaknya suatu agama yang dianut oleh seseorang, melainkan yang dipentingkan adalah bagaiman keyakinan agama tersebut terlihat pengaruhnya dalam perilaku penganutnya.
Dalam ajaran agama banyak kita jumpai istilah-istilah yang menggambarkan sikap batin seseorang. Misalnya sikap beriman dan sikap bertakwa kepada Allah, sebagai orang yang saleh, orang yang berbuat baik, orang yang jujur dan sebagainya. Semua itu adalah gejala-gejala kejiwaan yang berkaitan dengan agama.
Dengan ilmu jiwa seseorang selain akan mengetahui tingkat keagamaan yang dihayati, dipahami dan dan diamalkan seseorang, juga dapat digunakan sebagai alat untuk memasukkan agama ke dalam jiwa seseorang sesuai dengan tingkat usianya. Dengan ilu ini agama akan menemukan cara yang tepat dan cocok untuk menamakannya.
Kita misalnya dapat mengetahui pengaruh dari salat, puasa, zakat, haji dan ibadah lainnya dengan malalui Ilmu Jiwa Dengan mengetahui ini, maka dapat disusun langkah-langkah baru yang lebih efisien lagi dalam menanamkan ajaran agama. Itulah sebabnya ilmu jiwa ini banyak digunakan sebagai alat untuk menjelaskan gejala  atau sikap keagamaan seseorang.
Dari uraian tersebut di atas kita melihat ternyata agama dapat dipahami melalui berbagai pendekatan. Dengan pendekatan itu semua orang akan sampai pada agama. Seorang teolog, sosiolog, antropolog, sejarawan, ahli ilmu jiwa dan budayawan akan sampai paa pemahaman agama yang benar. Disini kita melihat bahwa agama bukan hanya monopoli kalangan teolog dan normatif belaka, melainkan agama dapat dipahami semua orang sesuai dengan pendekatan dan kesanggupan yang dimilikinya. Dari keadaan demikian seseorang akan memiliki kepuasan dari agama, karena seluruh persoalan hidupnya mendapat bimbingan dari agama.
2.4.    Pendekatan Historis
Kata sejarah secara harfiah berasal dari bahasa arab “syajaratun” yang artinya pohon. Dalam bahasa arab sendiri, sejarah disebut dengan tarikh. Adapun kata tarikh dalam bahasa Indonesia artinya kurang lebih adalah waktu atau penanggalan. Kata Sejarah lebih dekat pada bahasa Yunani yaitu historia, yang berarti ilmu atau orang pandai. Kemudian dalam bahasa Inggris menjadi history, yang berarti masa lalu manusia. Kata lain yang mendekati acuan tersebut adalah Geschichte yang berarti sudah terjadi.
Pengertian sejarah secara istilah ilmu yang didalamnya membahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, obyek, latar belakang, dan pelaku dari peristiwa tersebut. Menurut ilmu ini segala peristiwa dan dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi, di mana, apa sebabnya, siapa yang terlihat dalam peristiwa tersebut.
Melalui pendekatan sejarah seseorang diajak menukik dari alam idealis ke alam yang bersifat empiris dan mendunia. Dari keadaan ini seseorang akan melihat adanya kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam alam idealis dengan yang ada di alam empiris dan historis.
Pendekatan kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam memahami agama, karena agama itu sendiri turun dari situasi yang konkret bahkan berkaitan dengan kondisi sosial kemasyarakatan. Dalam hubungan ini Kuntowijoyo telah melakukan stusi yang mendalam terhadap terhadap agama yang dalam hal ini Islam, menurut pendekatan sejarah. Ketika ia mempelajari al-Qur’an, ia sampai pada suatu kesimpulan bahwa pada dasarnya kandungan al-Qur’an itu terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama, berisi konsep-konsep, dan bagian kedua, berisi kisah-kisah sejarah dan perumpamaan.
Dalam bagian pertama yang berisi konsep-konsep, kata mendapati banyak sekali istilah al-Qur’an yang merujuk kepada pengertian-pengertian normatif yang khusus, doktrin-doktrin etik, aturan-aturan legal dan ajaran-ajaran keagamaan pada umumnya. Istilah-istilah, atau singkatnya pernyataan-pernyataan itu mungkin diangkat dari konsep-konsep yang telah dikenal oleh masyarakat Arab pada waktu al-Qur’an diturunkan atau bisa jadi merupakan istilah-istilah baru yang dibentuk untuk mendukung adanya konsep-konsep religius yang ingin diperkenalkqnnya. Yang jelas, istilah-istilah itu kemudian diintegrasikan ke dalam pandangan dunia al-Quran, dan dengan demikian, menjadi konsep-konsep yang otentik.
Dalam bagian pertama ini, kita mengenal banyak sekali konsep baik yang bersifat abstrak maupun konkret. Konsep tentang Allah,  konsep tentang Malaikat, tentang akhirat, tentang ma’ruf, munkar dan sebagainya adalah konsep-konsep yang abstrak. Sementara itu juga ditunjukkan konsep-konseo yang lebih menunjuk kepada fenomena konkret dan dapat diamati (obsereable), misalnya konsep tentang fuqara (orang-orang fakir), dhu’afa (orang-oran lemah), mustadh’afin (kelas tertindas), zhalimun (para tiran), agniya (orang-orang kaya), mustakbirun (penguasa), mufasidun (koruptor-koruptor) dan sebagainya.
Selanjutnya jika pada bagian yang berisi konsep-konsep, al-Qur’an bermaksut membentuk pemahaman yang komprehensif mengenai nilai-nilai Islam, maka pada bagian kedua yang berisi kisah-kisah dan perumpamaan, al-Qur’an ingin mengajak dilakukannya perenungan untuk memperoleh hikmah. Melalui kontemplasi terhadap kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa historis, dan juga melalui metafor-metafor yang berisi hikmah tersembunyi, manusia diajak merenungkan hakikat dan maka kehidupan. Banyak sekali ayat yang berisi ajakan semacam ini, tersirat maupun tersurat, baik menyangkut hkmat historis ataupun menyangkut simbol-simbol. Misalnya simbol tentang rapuhnya rumah laba-laba, tentang keganasan samudera yang menyebabkan orang-orang kafir berdoa.
Melalui pendekatan sejarah ini seseorang diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa. Dari sini, maka seseorang tidak akan memahami agam keluar dari konteks historisnya. Seseorang ingin memahami al-Qur’an secara benar misalnya, yang bersangkutan harus mempelajari sejarah turunnya al-Qur’an atau kejadian-kejadian yang emngiringi urunnya al-Qur’an yang selanjutnya disebut sebagai Ilmu Asbab An-nuzul (Ilmu tentang Sebab-sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an) yang pada intinya berisi sejarah turunnya ayat al-Quran. Dengan Ilmu Asbabunnuzul ini seseorang dapat mengetahui hikmah yang terkandung dalam suatu ayat yang berkenaan dengan hukum tertentu, dan ditujukan untuk memelihara syari’at dari kekeliruan memahaminya.
2.5.    Pendekatan Antropologis
Pendekatan antropologis yaitu suatu upaya untuk memahami agama dengan cara melihat praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam suatu masyarakat. Dengan pendekatan seperti ini agama terasa akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang di hadapi setiap individu maupun kelompok untuk menyelesaikan suatu masalah yang sedang dihadapinya. Jadi cara yang digunakannya dengan disiplin ilmu antropologi untuk memehami agama. Menurut Dawam Rahardjo, dia lebih mengutamakan pengamaqtan langsung yang bersifat partisipasif (menjadi bagian dalam suatu masyarakat). Pendekatan antopologis dengan mengunakan cara penelitian yaitu: penelitian antropologis yang induktif dan grounded maksudnya pendekatan yang turun kelapagan tanpa berpijak pada upaya untuk membebaskan diri dari suatu teori-teori formal yang pada dasarnya sangat abstrak sebagaimana yang dilakukan di bidang sosiologi dan ekonomi yang mempergunakan model –model matematis, dan ini malah memberi banyak sumbagan terhadap penelitian historis.
Melalui pendekatan antropologi sosok agama yang berada pada dataran emprik akan dapat dilihat sertat-seratnya dan latar belakang mengapa ajaran agama dapat dimunculkan dan dirumuskan. Dalam penelitian antropologi agama dapat ditemukan adanya hubungan yang positif antara kepercayaan agama dengan kondisi ekonomi  dan politik suatu masyarakat.jadi kkesimpulan penelitian antropologi, golongan masyarakat yang kurang mampudan golongan masyarakat miskin pada umumnya lebih tertarik pada gerakan keagamaan yang bersifat mesianis sedangkan golongan kaya lebih tertarik (cenderung) untuk mempertahankan tatanan masyarakat yang sudah mapan secara ekonomi lantaran tatanan tersebut menguntungkan pihaknya.
2.6.    Pendekatan Sosiologis
Sosiologis adalah ilmu yang mempelajari kehidupan manusia dalam tata kehidupan bersama. Pusat perhatiannya adalah kehidupan kelompok dan tingkah laku sosial. Sosiologi didefinisikan secara luas sebagai bidang penelitian yang tujuannya meningkatkan pengetahuan melalui pengamatan dasar manusia, kebiasaan-kebiasaan, ritual-ritual, dan pola organisasi serta hukum-hukumnya.
Dari definisi tersebut terlihat bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan, serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan. Asumsi dasar pendekatan sosiologi terhadap agama adalah bahwa gejala-gejala keagamaan dapat dimengerti dengan menganalisisnya sebagai gejala sosial, sebagai sesuatu yang tercipta dalam hubungan antara manusia, dan karenanya dapat dijelaskan dengan menggunakan terori-teori yang berlaku dalam ilmu sosial. Selanjutnya, sosiologi dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami agama. Hal demikian dapat dimengerti, karena banyak bidang kajian agama yang baru dapat dipahami secara proporsional dan tepat apabila menggunakan jasa bantuan dan ilmu sosiologi.
Jalaluddin Rahman dalam bukunya yang berjudul Islam Alternatif, menunjukkan betapa besarnya perhatian agama yang dalam hal ini Islam terhadap masalah sosial, dengan mengajukan lima alasan sebagai berikut:
Pertama, dalam Al-Qur’an atau kitab-kitab hadits, proporsi terbesar kedua sumber hukum Islam itu berkenaan dengan urusan muamalah. Menurut Ayatullah Khomaeni dalam bukunya Al-Hukumah Al-Islamiyah yang dikutip Jalaluddin Rahman, dikemukakan bahwa perbandingan antara ayat-ayat ibadah dan ayat-ayat yang menyangkut kehidupan sosial adalah satu berbanding seratus – untuk satu ayat ibadah, ada seratus ayat muamalah (masalah sosial).
Kedua, bahwa ditekankannya masalah muamalah (sosial) dalam Islam ialah adanya kenyataan bahwa bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah yang penting, maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan (tentu bukan ditinggalkan), melainkan dengan tetap dikerjakan sebagaimana mestinya.
Ketiga, bahwa ibadah yang mengandung segi kemasyarakan diberi ganjaran lebih besar dari pada ibadah yang bersifat seorangan. Karena itu shalat yang dilakukan secara berjamaah dinilai lebih tinggi nilainya dari pada shalat yang dikerjakan sendirian (munfarid) dengan ukuran satu berbanding dua puluh derajat.
Keempat, dalam Islam terdapat ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal karena melanggar pantangan tertentu maka kifaratnya (tembusannya) adalah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial.
Kelima, dalam Islam terdapat ajaran bahwa amal baik dalam bidang kemasyarakatan mendapat ganjaran lebih besar dari pada ibadah sunnah.
Ilmu sosial dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami agama. Hal ini dapat dimengerti karena banyak bidang kajian agama yang baru dipahami secara imporsional dan tepat apabila menggunakan jasa bantuan dari ilmu sosila. Pentingnya pendekatan sosial dalam agama sebagaimana disebutkan diatas, dapat dipahami, karena banyak sekali ajaran agama yang berkaitan dengan masalah sosial. Besarnya perhatian agama terhadap masalah sosial ini selanjutnya mendorong kaum agama memahami ilmu-ilmu sosial sebagai alat untuk memahami agamanya.

Pendekatan sosiologis dibedakan dari pendekatan studi agama lainnya karena fokus
perhatiannya pada interaksi antara agama dan masyarakat. Teori sosiologis tentang watak agama serta kedudukan dan signifikansinya dalam dunia sosial, mendorong ditetapkannya serangkaian kategori-kategori sosiologis, yaitu:
•       Stratifikasi sosial, seperti kelas dan etnisitas.
•      Kategori biososial, seperti seks, gender, perkawinan, keluarga, masa kanak-kanak, dan usia.  
•      Pola organisasi sosial meliputi politik, produksi ekonomis, sistem-sistem pertukaran, dan        birokrasi.
•    Proses sosial, seperti formasi batas, relasi intergroup, interaksi personal, penyimpangan, dan globalisasi.
Pendekatan sosiologis memiliki makna yang sangat penting dalam konteks studi islam. Berbagai dinamika dan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat  memerlukan telaah dan penelitan secara memadai. Dengan bantuan pendekatan sosiologis, dapat diungkap berbagai karakteristik, kekayaan khazanah, dan deskiripsi yang unik dari komunitas muslim di berbagai tempat.

2.7.    Pendekatan Filosofis
Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata philo yang berarti cinta kepada kebenaran ilmu, dan hikmah.Selain itu filsafat dapat pula berarti mencari hakikat tertentu, berusaha menautkan sebab dan akibat serta berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia. Dalam  Kamus Umum Bahasa Indonesia , Poerwadarminta mengartikan filsafat sebagai pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai sebab-sebab, asas-asas, hukum dan sebagainya terhadap segala yang ada dialam semesta ataupun mengenai kebenaran dan arti adannya sesuatu .  Jika kita melihat definisi yang diberikan oleh dua oranng yang mula-mula mencintai kebijakan- Plato dan Aristoteles –kita dapat mulai melihat bagaimana kemungkinan-kemungkinan itu dapat dimengerti. Plato mendiskripsikan filsuf sebagai  orang yang siap merasakan setiap bentuk pengetahuan, senang belajar dan tidak pernah puas. Aristoteles juga memberikan suatu definisi filsafat sebagai “pengetahuan mengenai kebenaran”.Terhadap kedua definisi tersebut kita dapat meambah definisi ketiga yang diberikan oleh Sextus Empiricus, filsafat adalah suatu aktifitas yang melindungi kehidupi yang bahagia melalui diskusi dan argumen.  Maka unsure kunci yang menyusun “cinta pada kebajikan” adalah kemauan menjaga pikiran tetap terbuka, kesediaan membaca secara luas, dan mempertimbangkan selurh wilayah pmikiran dan  memiliki perhatian pada kebenaran . Semua itu adalah bagian dari suatu aktivitas atau proses dimana dialog, diskusi, dan mngemukakan ide dan argumen merupakan intinya. Usur-unsur itu dikemukakan melaui karya-karya Plato. Metoe Plato dalam berfilsafat adalah melalui dialog, berbincang dengan orang lain (biasanya Socrates) atau sekelompok orang. Gagasannya adalah bahwa kkita dapat menggunakan dialog untuk mencari kebenaran sesuatu. Dengan mengemukakan suatu ide dan eorang menanggapinya,dan kemudinmelakukan perubahan dan penambahan ide itu melaui respon yang diberikan dan mendengarkan respon lainnya, kita secara gradual meninngkatkan kebenaran yang sedang kita bicarakan dalam tahapan dan tingnkatan yang gradual. Dialog –dialog Plato jarang mencapai kesimpulan yang pasti, namun ini tidak masalah karena ini justru memberitahukan kita hal yang menarik kentang filsafat. Kenyataan ini menunjukan kepada kita bahwa filsafat memilki perhatian untuk memberikan sesuatu  pembahasan yang rasional tentang watang yang dilawaankan dengan pembahasan yang diterima murni berdasar otoritas atau kenyakinan atau tradisi.
Dengan kata lain, “cinta kepada kebajikan“ ini adalah suatu komitmen, suatu kemauan yang mengikuti  sesuatu argument atau alur pemikiran atau suatu ide sampai pada suatu kesimpulan-kesimpulannya, namun setiap langkah proses itu selalu terbuka untuk ditentangkan selalu terbukan untuk dibuktikan salah. Kesimpulan-kesimpulan yang dicapai bersifat sementara dan tentative.   
Pengertian filsafat yang umum digunakan adalah pendapat yang dikemukakan Sidi Gazalba . Menurutnya filsafat adalah berfikir secara mendalam, sistematik, radikal dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti, hikmah dan hakikat mngenai segala sesuatu yang ada.
Difinisi tersebut dapat diketahui bahwa filsafat pada intinya berupanya menjelaskan inti, hakikat atau hikmah mengenai sesuatu yang berada diballik objek formanya. Filsafat mencari sesuatu yang mendasar, asas dan inti yang terdapat diballik yang bersifat lahiriah.
Dalam pendekatan ini kita memperoleh petunjuk asal-usul datangnya filsafat. Saat ini , filsafat dilihat sebagai disiplin yang melatih orang dalam seni berfikir, apayang kami maksud dengan “ seni berfikir “ adalah emperoleh sekumpulan keahlian yang memungkinkan terjadinya sesuatu bentuk pemikiran tertentu. Bentuk pmikiran ini disebut dengan argumentative atau kritis, pemikiran yang concern dengan pengajuan argument, menguji kelemahannya, membelanya mengenai hubungan antara filsafat dan agama, sebagaimana muncul dalam suatu sejarah perdebatan. Keempat posisi itu adalah : (1) Filsafat sebagai agama,(2) Filsafat sebagai pelayan agama,(3) Filsafat sebagai yang membuat ruang bagi keimanan dan,(4) Filsafat sebagai perangkat analitis bagi agama. Terhadap posisi itu kita dapat menambahkan , (5) Filsafat sebagia study tentang penalaran yang digunakan dalam pemikiran keagamaan.
Posisi pertama, filsafat sebagai agama, di Barat dapat mencakup pemikiran-pemikiran seperti Plato, Plotinus, Porphyry, Spinoza, Iris Murdoch, dan pemikir proses-khususnya.Hartshorne dan Griffen. Inti dari pendekatan ini trletak pad aide bahwa dengan mereflesikaan watak realitas tertinggi – kebaikan, Tuan (God), ketuhanan (divine)- kita dapat menemumkan wawasan-wawasan yang sesungguhnya mengenai pengalaman manusia dan dunia, reefleksi memberikan gambaran yang benar tengtang bagaimana sesuatu itu. Model paandangan metafisik ini menunjukan pada kita apa yang tertinggi dan ultimate, dan memberikan kita suatu system nilai bagi hidup dalam kehidupan sehari-hari.
Posisi kedua, filsafat sebagi pelayan agama, dapat mencakup pemikir-pemikir seperti Aquinas, John Lock, Baasil Mitchell, dan Richard Swinburne. Refleksi memberikan pengetahuan parsial tentang Tuhan atau beberapa bentuk lain dari ultimate spiritual : ia dapat menunjukan rasionalitas dari proses menyakini bahwa Tuhan ada, mendiskusikan sifat-sfat Tuhan, dalam tradisi Jodeo Kristen, refleksi berfungsi untuk membangnun argument-argumen yang menunjukkan aktivitas Tuhan dalam sejarah dan kontrol Tuhan terhadap dunia. Pelaksanaan refleksi dari ini dikenal dari teologi natural . Akan tetapi  teologi natural tidak dapat memberikan keimanan seseorang, ia mesyaratkan wahyu Tuhan jika orang harus merenspon dengan keimanan dan menerima keanggunan penyelamatan. Bagi Aquinas, wahyu adalah komunitas Tuhan tentang kebenaran tanpa bantuan akal, ia tidak dapat diperoleh dengan sendirinnya, nalar manusia adalah “ muqadimmah” bagi keimanan. John Locke mengembangkan hal ini dengan menyatakan bahwa akal menetapkan suatu standar keebenaran .yanng ditetapkan oleh pengetahuan terwahyu,diuji otoritasnya,wahyu itu tidak boleh bertentangan dengan standar-standar itu. Dan posisi ini dikembangkan dalam karya Richard Swinburn baru-baru ini.
Posisi ketiga, filsafat sebagi pembuat ruang bagi keimanan dapat melipti pemikiran-pemikiran seperti William Ockham, Immanuel Kant, Karl Bath, dan Alvin Plantiga. Refleksi, paling banter hanya dapat memperliatkan ketidakmemadahinya dalam membuat pertimbangan – pertimbangan tentang agama, dengan menunjukan keterbatasan-keterbatasannya, refleksi membuka kemungkinan agama, dan menjelaskan ketergantungan manusia pada wahyu yang dengannya kita memperoleh pengetahuan dari Tuhan.
Posisi keempat, filsafat sebagai study analisis terhadap agama baarangkali adalah posisi yang paling akrab dan mencakup pemikir-pemikir seperti Antony  Flew , Paul Van Buren , R.B. Braith Waite,dan D.Z Phillips. Ini merupakan posisi paling akrab karena merupakan cara berfilsafat agama yang paling dominan dalam dunia berbahasa Inggris. Tujuannya adalah menganalisis dan menjelaskan watak dan fungsi bahasa keagamaan, menemukan bahasa untuk membicarakan Tuhan, apa dasar – dasar yang  digunakan untuk mendukung pengetahuan-pengetahuan mereka dan bagaimana  semua itu dikaitkan dengan  cara hidup mereka.
Posisi kelima, filsafat sebagai study penalaran yang digunakan dalam pemikiran keagamaan, merupakan suatu perkembangan modern dan dapat mencakup pemikir-pemikir seperti David Pailin, Maurice Wiles, dan Jhn Hick. Pendirian dibalik pendekatan agama jenis ini adalah bahwa umat beriman adalah manusia dan oleh karena itu, struktur pemikiran mereka dan kebudaya-kebudayaan partikkular, dimana mereka berada didalamnya merupakan kondisi bagi apa yang mereka yakini. Tujuannya mencoba melihat telliti berbagai konteks dimana orang beriman melangsungkan kehidupannya, mengidentifikasikan factor-faktor yang beroperasi dalam konteks itu yang dapat memengaruhi kenyakinan seseorang, dan melihat bagaimana kenyakinan itu diekspresikan dalam dokrin dan praktik.Penekanannya adalah pada kebudayaan sebagai factor formatif dan berpengaruh terhadap kenyakinan keagamaan.Sejumlah perangkat juga digunakan mencakup peranngkat historis, ilmiah, dan hermeneutic.Pailin mlaporkan bahwa bentuk pendekatan ini memperoleh tanggapan yang menentang – dan dia menunjukkan bahwa saat ini bentuk filsafat agama ini.Kita mesti menyepkati hal ini.Tugas kita sekarang adalah berusaha mengidetifikasi karakteristik yang menjadi inti pendekatan filosofis terhadap agama.

2.8.    Pendekatan Fenomenologis
Dalam diskursus filsafat, tern fenomenologi, bukanlah murni Husserlian. Jauh sebelumnya, istilah ini telah digunakan oleh para filsuf untuk menjelaskan gejala atau penampakan sebuah realitas. Menurut Cairus, orang pertama yang mengapresiasi tern ini adalah Lambert, seorang filsuf yang karya-karyanya berpengaruh pada pertengahan abad 18, terutama bukunya Neo Organom. Di buku ini, lanbert mengguanakan istilah ini untuk menjelaskan teorinya tentang penampakan fundamental pada semua pengetahuan empirik. Masih pada masa yang sama, Emmanuel Kant mmenggunakan istilah ini untuk membedakan antara phenomena dan noumena. Baginya, manusiahanya mengenal fenomen-fenomen yang tampak dalam kesadaran, bukan noumena, yaitu realitas di luar (berupa bnda atau hal-hal yang menjadi objek kesadaran kita) yang kita kenal. Pada abad 19, term ini diberi arti lain oleh Hegel, yaitu conversant about mind, pengetahuan tentang pikiran. Menurutnya, jika kita membaca pikiran semata-mata dengan pengamatan dan penggeneralisasian berbagai fenomena dalam penampakan dirinya, maka kita hanya akan memperoleh satu bagian dari pengetahuan mental, dan inilah yang disebut phenomenology of mind.
Moritz Lazarus memakai kata ini menjelaskan perbedaan antara phenomenology dan psychology. Yang pertama dimaksudkan untuk menggambarkan kehidupan mental (mental life) dan yang kedua mencari penjelasan sebab akibat (causal explanation) kehidupan mental.
Filsafat Husserl dikembangkan melalui tiga tahap.
Pertama, dia merobohkan posisi ilmuwan psikologi psikometrik yang kukuh dengfan dasar-dasar aritmatikanya. Bahkan, dia berusaha keras membuktikan sikap anti psikologistik melalui dasar-dasar logika objektif dan matematis. Kedua, dia bertolak dari filsafat konsepsional sebagai akar psikologi deskriptif Brentanian untuk mengembangkan sebuah disiplin baru mengenai “fenomenologi” dan sebuah posisi yang bersifat metafisik yang disebut “transendental idealism”, dan ketiga, dia mentransformasikan fenomenologinya yang pada awalnya disamakan dengan metode solipsisme ke dalam suatu fenomenologi intersubjektif yang berujung ke dalam suatu pandangan hidup ontologis yang mencakup dunia sosial tentang budaya dan sejarah.
Ketiga tahapan perkembangan fenomenologi Husserl ini merupakan respon filosofisnya terhadap situasi sosial dan budaya masyarakat Eropa pada saat itu. Husserl berpendapat bahwa penyebab terjadinya bkrisis manusia Eropa saat itu karena mereka meninggalkan sikap dan semangat Yunanian yang mempercayai adanya kebenara dan
validitas universal (“universally valid thruth”). Semangat ini kata Husserl, pernah menyatukan perbedaan Barat selama beberapa abad. Namun, karena mereka mengingkari sikap ini, maka krisis pun tidak terhindarkan. Untuk menyelamatkan krisis peradaban Eropa, dia menegaskan perlunya dilakukan rehabilitasi terhadap gagasan-gagasan kepastian rasional dengan cara kembali kepada metode fenomenologi, sebagai konsekuensi logis dari “proyek” rehabilitasi ini. Begitulah ketika ia mengkritik para pendukung metode sains natural seperti pragmatisme, “naturalisme” atau “psikologisme” kaum positivistik yang menurutnya bertanggung jawab atas krisis humanitas tersebut.
BAB III
PENUTUP
3.1.    Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sebenarnya pendekatan agama itu dapat di lakukan dengan brbagai metode yaitu :
-    pendekatan teologis yaitu pendekatan agama secara harfiah dapat diartikan sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan.
-    Pendekatan Yuridis adalah hukum, jadi yamg dmaksud dengan pendekatan yuridis adalah pemahaman agama islam secara hukum menurut islam.
-    Pendekatan Psikologi atau Ilmu Jiwa adalah ilmu yang mempelajari jiwa seseorang melalui gejala perilaku yang dapat diamatinya.
-    Pendekatan Historis adalah ilmu yang didalamnya membahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, obyek, latar belakang, dan pelaku dari peristiwa tersebut.
-    Pendekatan Antropologis yaitu suatu upaya untuk memahami agama dengan cara melihat praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam suatu masyarakat.
-    Pendekatan Sosiologis adalah ilmu yang mempelajari kehidupan manusia dalam tata kehidupan bersama.
-    Pendekatan Filsafat yaitu sebagai pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai sebab-sebab, asas-asas, hukum dan sebagainya terhadap segala yang ada dialam semesta ataupun mengenai kebenaran dan arti adannya sesuatu.
3.2.    Saran
Demikian makalah tentang Berbagai Pendekatan Konteks Studi Islam yang sudah kami paparkan. Kami menyadari makalh kami jauh dari sempurna maka dari itu kritik yang membangun dari pembaca sangat kami harapkan, untuk perbaikan makalah ini. Harapan dari pemakalah, semoga maklah ini dapat memberi pengetahuan baru dan bermanfaat bagi kita semua. Amin.


DAFTAR PUSTAKA
Imam Suprayogo dan TobroniMetodologi Penelitian Sosial-Agama, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2003
Peter Connolly, Aneka Pendekatan Studi Agama, Yogyakarta: LKIS Yogyakarta, 2002
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998
Lukman s. Thahir, studi islam interdisipliner, yogyakarta, qirtas, 2003
Harun Nasution, Dr. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI-Press, 1985

















Biodata pemakalah

Nama        : Naily Rahmawati
NIM        : 123911074
Jurusan        : PGMI 2B
TTL        : Pati, 05 oktober 1994
Pendidikan    :
  1. MI Al-Mu’min Sunan Prawoto
  2. MTs Sunan Prawoto
  3. MA Sunan Prawoto
Alamat        : Prawoto Rt 06 Rw 03 Sukolilo Pati
Handphone    : 085712052713
E_mail        :Naily_rahma@rocketmail.com

Nama        : Muhammad Shodiqin
NIM        : 123911071
Jurusan        : PGMI 2B
TTL        : Semarang, 25 Mei 1992
Pendidikan    :
  1. MI Muhamadiyah
  2. SMP Muhamadiyah 9
  3. MA NU 04 Al- Ma’arif Boja
Alamat        : Mangkang Rt 02 Rw 06 Ngaliyan Semarang
Handphone    : 085741702399
E_mail        : Muhammadshodiqin25@gmail.com

Nama        : Lailatus Saadah
NIM        : 123911059
Jurusan        : PGMI 2B
TTL        : Jepara, 05 Februari 1994
Pendidikan    :
  1. SDN Kedung 02
  2. MTs Ribhul Ulum Kedung putih Demak
  3. MA Ribhul Ulum Kedung putih Demak
Alamat        : Kedung Malang, Kedung Jepara
Handphone    : 081578058667
E_mail        : laylis_saadah@ovi.com

Nama        : Hanik Rosidah
NIM        : 123911049
Jurusan        : PGMI 2B
TTL        : Pati, 05 Desember 1992
Pendidikan    :
  1. MI Mamba’unnidhom
  2. MTs Mamba’unnidhom
  3. MA Salafiyah
Alamat        : Bulungan, Tayu pati
Handphone    : 085641823054
E_mail        : hanikroysidah18@yahoo.com

Nama        : Elwin Maftuhah
NIM        : 123911045
Jurusan        : PGMI 2B
TTL        : Pati, 15 Desember 1994
Pendidikan    :
  1. MI Tarbiyatul Islamiyah Klakahkasihan Gembong Pati
  2. MTS Tarbiyatul Islamiyah Klakahkasihan Gembong Pati
  3. MA Salafiyah Kajen Margoyoso Pati
Alamat        : Klakasihan Gembong Rt 02 Rw 02 Pati
Handphone    : 089620130054
E_mail        : elwin.maftuhah@yahoo.co.id

Nama        : maarisatunniyyah
Nim        : 123911068
Jurusan        : PGMI 2B
TTL        : jepara.17 februari 1994
Pendidikan    :
            : 1.Mi.Matholiul Huda Damarwulan Keling Jepara
            : 2.Mts.Al-Hikmah Kajen Margoyoso Pati
: 3.Ma.Raudlatusysubban Sekarjalak Margoyoso Pati
Hendpone        : 085712385885
E_mail        : n_risya@yahoo.com


Sabtu, 22 Juni 2013


REVIEW BUKU
STUDI ISLAM KONTEMPORER
Dosen pengampu : M. Rikza Chamami, MSI
Disusun oleh : Marisatunniyyah (123911068)
Identitas Buku
Judul Buku            : Studi Islam Kontemporer
Penulis                  :  M. Rikza Chamami, MSI
Penerbit                : Pustaka Rizki Putra
Tanggal terbit        : Desember 2012
Jumlah halaman     : xii + 228 halaman 

Studi Islam Kontemporer
BAB  1.PASANG SURUT  KEBANGKITAN KEBUDAYAAN  DAN KEILMUAN   POTRET  DISINTEGRASI ABBASIYAH
    Pada bab ini penulis  membahas betapa besarnya islam dan sejarah perkembangan islam, disini juga dijelaskan pasang surutnya kebudayaan dan keilmuan, dan semua itu tidak terlepas dari adanya dsintegrasi abbasiyyah, bani abbasiyyah didirikan  oleh keturuna al-abbas paman nabi muhammad, abdullah Al-shaffah bin Muhammad bin ali bin abdullah bin abbas,yang perpusat dibaghdad. Bani abbasiyah berkusa sekitar 508 tahun (750 M/132 H) (1258 M - 56 H) akan tetapi, pada akhirnya dinasti abbasiyah  mengalami disinteggrasi, yang akihrnya mengakibatkan pasang surutnya  kebudayaan dan keilmuan. Dalam waktu yang cukup lama dinasti abbasiyah menunjukkan perkembangananya dan dapat diklasifikasikan menjadi tiga periode : pertama, periode perkembangan dan puncak kejayaan (750-950 M). Kedua, periode diseintegrasi (950-1050 M). Yang ditandai dengan upaya wilayah-wilayah melepaskan  diri dan meminta otonomisasi, serta berkuasanya dinasti bani buwaihi dari persia kedalam pemerintahan khalifah di baghdad. Dan ketiga periode kemunduran dan kehancuran (1050-1050 M). Adapun penyebab adanya disintegrasi adalah munculnya dinasti-dinasti kecil, perebutan kekuasaan, dan adanya perang salib. yang perdampak dala sektor pendidikan, kebudayaan, ekonomi, politik dan lain-lain.


BAB 2.KAJIAN KRITIS DIALITEKA FENOMENELOGI DAN ISLAM
    Pada bab  kedua ini penulis menerangkan tentang fenomenologis dan islam yang menjelaskan tentang pengertian fenomologi dari filsafat metode contoh pemikirnya adalah Edmund Husserl. Fenomenologi adalah suatu hal yang tidak nyata yang berarti ungkapan kejadian yang dapat diamati dengan indera. Fenomenologi memperhatikan benda-benda yang kongkrit, bukan dalam arti yang ada dalam kehidupan sehari-hari, akan tetapi dengan struktur yang pokok dari benda-benda tersebut, sebagaimana yang kita rasakan dalam kesadaran.  Kajian fenomenologis terhadap esensitas keberagamaan manusia muncul karena adanya ketidak puasaan para agamawan terhadap kajian historis yang hanya mengkaji aspek-aspek normativitas agama dari kulit luar atau aspek eksternalnya saja, sedangkan aspek internalitas kedalaman keberagamaan kurang tersentuh.

BAB 3.FILSAFAT MATERIALISME KARL MARK DAN FRIEDRICK ENGLES
    Pada bab ketiga berisi tentang pemikiran dari Karl Mark dan Friedrick Engles yang membahas tentang filsafat materialisme dialektis dan filsafat meterialisme historis, Adapun perinsip martrealisme dialiktis adalah bahwa perubahan dalam hal kuantitas dapat mengakibatkan perubahan dalam hal kualitas. Sedangkan  hostoris  adalah segala sesuatu dikatkan dengan sejarah termasuk kehidupan, kesadaran manusia,dan seluruh sejarah manusia harus dartikan sebagai matrelisme. Dan  dalam fisafat materalisme dan historia terdapat perbedaan pendapat antara Karl Mark dan Friedrick dengan Hegel. filsafat ini dapat diterima pada abad 19, dalam filsafat ini menolak keberadan sang pencipta dan menyatakan bahwa alam semesta tidak berawal dan tidak berakhir.

BAB 4. SKEPTISISME OTENTITAS HADITS: KRITIKAN  ORIENTALIS IGNAZ GOLDZIHER
    Pada bab keempat berisi tentang pemahaman hadist pda kaum muslim secara unifrom dan pemahaman hadist oleh kalangan non muslim. Ignas Goldziher disini disebut-sebut sebagai tokoh kritikus hadist, dia adalah seorang orientalis Hongaria yang dilahirkan  di Szekesfehervar, Hongaria  Jerman. Dalam kerikitan Ignas dan Josep mengatakan dalam bukunya “Muhammadenische Studient Dan The Origin Of Muhammadche Yurisprudence” bahwa hadist bukan berasal dari nabi Muhammad SAW, melainkan hadis hanyalah buatan para ulama. Dalam rangka membuat kritik hadist, Ignaz memilih antara hadis dan sunnah. Ia menyatakan bahwa hadist bermakna suatu disiplin ilmu teoritis dan sunah adalah kopendium aturan-aturan praktis.

BAB 5.TELAAH  SOSIO-KULTURAL MANHAJ AHLUL MADINAH
    Pada bab kelima berisi tentang istimbat  hukum merupakan masalah yang sangat penting,dalam hal ini terjadi banyak perbedaan pendapat antara para ulama’ dan bukan hanya pada zaman skarang, perbedaan ini juga terjadi dari zaman nabi Muhammad  SAW. dan pada zaman setelah nabi para sahabat terus memecahkan perbedaan yang ada, namun perbedaan tidak dapat diselesaikan dengan begitu saja, dengan menggali dan menarik kesimpulan dari al-Quran dan sunah nabi Muhammad SAW. Ahlul hadis dan ahlul-ra’yi adalah salah satu yang mengalami perbedaan pendapat, ahlul hadis adalah aliran tradisional yang dalam ijtihat fiqihnya selali merujuk nash-nash al-Quran dan al-sunnah, serta tidak mau melangkah jauh dari keduanya, tidak senang melakukan kajian nalar rasional dan sangat berhati-hati dalam berfatwa. Adapun ahlul-ra’yi adalah sering dahulukan pendapat akal dari pada hadist-hadist ahad. Mereka sangat selektif dalam menerima hadist.  Dan dari sinilah muncul mazhab–mazhab, adapun mazhab-mazhab yang dikenal sebagai ahlul hadist adalah mazhab Asy-Syifi’i, mazhab Hambali dan mazhab Maliki. Imam Syafi’i mengenalkan suatu pola penalaran  dan metode pengolahan hukum yang utuh dan sistematis yang kemudian dikenal sebagai hukum fiqih. dan ahlul ra’yu atau ijtihad dapat digunakan menghadapi masalah yang tidak ada nasnya baik dalam al-Qur’an maupun sunah nabi Muhammad SAW. Madzhab yang lahir  dari golongan ini adalah madzhab Hanafi.

BAB 6.POSTMODERNISASI REALITAS FILSAFAT KONTEPORER
    Pada bab enam ini berisi tentang postemodernisme meurut J. F. Lyotard dalam bukunya La Condition Postmoderne (1979), diartikan sebagai ketidak percayaan terhadap matanarasi. Lyotard adalah filosof yang memperkenalkan istilah postmodernisme kedalam bidang filsafat. Dengan adanya postmordern mengakibatkan adanya  fenomena paradoksal. Dan menyebabkan sikap ambivalen. adanya postmodern mengakibatkan kekecewaan terhadap  sikap media masa yang lebih banyak memusuhi kaum timur, dalam kenyataannya, bentrok barat dan islam yang memang sudah berakar panjang dalam sejarah, justru berlangsung semakin intensif. Bahkan menurut Samuel Huntington, barat saat ini melihat islam sebagai musuh berikutnya setelah komunisne ambruk. Dan tidak ragu lagi, intensitas bentrok tersebut banyak disulut oleh media masa, yang notabene dikuasai barat.dengan datangnya zaman kemajuan postmodernisme  identik dengan dua hal. Pertama, postmodernisme dinilai sebagai keadaan sejarah setelah zaman modern, dengan begitu modernisasi dipandang telah mengalami proses akhir yang akan segera dgantikan dengan zaman berikutnya, yaitu pos-modern. Kedua post-modern dipandang sebagai gerakan intlektual yang mencoba menggugat, bahkan mendkontruksi pemikiran sebelumnya  yang berkembang dalam pemikiran modern. Kegagalan modernisme telah menjadikan  postmodernisme yang mendekontrksi terhadap pemikiran modernisme. Postmodernisme telah merambah keberbagai bidang, diantaranya bidang kehidupan, ilmu, filsafat, dan pendidikan.

BAB 7.POTRET METODE DAN CORAK TAFSIR AL-AZHAR
    Pada bab ketujuh yang berjudul Potret Metode Dan Corak Tafsir Al-Azhar yang berisi kisah, metode, dan corak tafsir al azhar yang ditulis oleh pemikir muslim progresif  yang bernama Hamka. Tafsir al-Azhar berasal dari kuliah subuh yang diberikan oleh Hamka di masjid agung al-Azhar . ketika itu masjid belum bernama al-Azhar. Dan pada waktu yang sama, Hamka bersama K.H.Yusuf Ahmad, K.H.Fakih Usman, menerbitkan majalah panji masyarakat, masalah mulai muncul saat penerbitan  no. 22 tahun 1960, panji masyarakat dicabut izin terbitnya dikarnakan dianggap sebagai pemberontak  kaum komunis, kemudian Hamka ditangkap oleh penguasa orde lama, lalu dijebloskan kepenjara, namun masuknya kepenjara tidak menjadi hambatan dalam berkarya, justru didalam tahanan Hamka menyelesaikan penulisan tafsir al-Azhar. Melihat ciri khas yang ada dalam karya Hamka metode yang digunakan adalah Analitis (Tahlili) dan combinasi al-adabiijtima’i-sufi. analitis bergaya khas tertib mushaf. Yang dimaksuad dengan metode analitis ialah menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup didalamnya, sesuai dengan keahlian dan cenderung mufassir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut. Al-adabi ijma’i-sufi (sosial kemasyarakatan) adalah susatu cabang dari tafsir yang muncul pada masa modern ini, yaitu corak tafsir yang berusaha memahami nash-nash al-Quran dengan cara pertama dan utama mengemukakan ungkapan-ungkapan al-Quran secara teliti, selanjutnya menjelaskan makna-makna yang dimaksud oleh al-Quran dengan gaya bahasa yang indah dan menarik.

BAB 8. DISKURSUS METODE HERMENEUTIKA AL-QURAN
  Pada bab kedelapan yang berjudul Diskursus Metode Hermeneutika Al-Qur’an yang berisi pendekatan stusi isalam dengan cara hermeneitik secara menyeluruh. Hermeneutika sendiri memiliki banyak arti, namun pada intinya hermeneutika adalah cara-cara untuk menafsirkan simbol-simbol yang terwujud dalam teks atau bentuk lainya. Dalam perkekembangannya hermeneutika mengalami perkembangan dan perubahan persepsi  dan model pemakaiannya yang muncul dari keragaman pendefinisian dan pemahaman terhadap hermeneutika  yang dikemukakan oleh E. Palmar. Sedangkan epistimologi hermeneutika al-Qur’an dalam konteks a¬¬l¬-Qur’an seringkali dinilai rancu. Ini disebabkan hermeneutika muncul dari tradisi barat yang banyak dihasilkan orang-orang non muslim. Sementara al-Qur’an sebagai kitab suci agama islam tidak mungkin dapat menerima begitu saja metode yang digunakan orang barat. Maka dengan itu hermeneutika perlu  dijabarkan lebih lanjutkan makna dan penerapannya. Dan diskursus penafsiran al-Qur’an tradisional lebih banyak mengenal istilah Al-Tafsir, Al-Ta’wil, Dan Al-Bayan.

BAB  9.JAWA DAN TRADISI ISLAM PENAFSIRAN HISTORIOGRAFI
MARK R WOODWARD          
Pada bab kedelapan yang berjudul Diskursus Metode Hermeneutika Al-Qur’an yang berisi pendekatan stusi isalam dengan cara hermeneitika secara menyeluruh. Mark R.woodward adalah seorang profesor islam dan agama-agama asia tenggara. Ia merupakan sosok yang sangat tegas menyatakan bahwa Islam Jawa adalah Islam,  bukan Hindhu atau Hindhu-Budha, sebagaimana dituduhkan oleh Geertz dan sejarawan-antropolog lainnya. Selain itu, ia juga mengemukakan bahwa Islam Jawa adalah unik, bukan karena ia mempertahankan aspek-aspek budaya dan agama pra-Islam, tetapi karena konsep sufi mengenai kewalian). Ciri Islam Jawa menurut Mark yaitu kecepatan dan kedalamannya mempenertrasi masyarakat Hindhu-Budha yang paling maju (sophisticated).Mark juga sangat keritis terhadap karya Geertz mencari titik temu antara agama islam dan kebudayaan jawa menyimpan kekhawatiran laten akan berkurangnya otentitas dan kemurnian ajaran agama itu. Masalah lain adalah perlunya mencari jalan keluar bagaimana bisa membangun suatu praktik keagamaan yang terbuka, egaliterian, namun tidak mengorbankan otentisitas suatu agama.
BAB10. PEROFIL PERADABAN ISLAM
             Pada bab kesepuluh tentang Reinterpretasi Profil Pradaban Islam yang menjelaskan peradaban islam terdahulu yang kaya budaya dan peradaban. Dan banyak ditemukan  peninggalan-peninggalan  umat islam pada dinasti terdahulu, seperti pada masa  keemasan kota baghdad terjadi pada masa pemerintahan khalifah Harun Al Rasyid dan anaknya  khalifah Al Ma’mun memiliki perpustakaan yang dipenuhi dengan beribu-ribu buku ilmu pengetahuan, tempat-tempat ibadah,dan bangunan sosial lainnya. namun karena kelengahan orang islam kejayaan itu pun runtuh dengan dibakarnya perpustakaan terbesar yang ada, sejak itu pindahlah pusat ilmu pengetahuan kedunia barat.

 Kelebihan dan Kelemahan Buku
Kelebihan Buku:
Buku ini menggunakan banyak referensi dan ditulis dengan lengkap, sehingga pembaca bisa mencari atau belajar dengan lebih, Kata-kata yang jelas tanpa bertele-tele, menggunakan kata-kata ilmiah sehingga pembaca mendapat pengetahuan baru.
Kelemahan Buku:
Buku ini banyak menggunakan kata-kata ilmiyah tapi belum ada artinya sehingga pembaca menemui kesulitan, gaya penulisan bahasa yang terlalu sulit dimengerti sehingga pembaca pemula sulit memahaminya.

Rabu, 15 Mei 2013

PERNIKAHAN

MAKALAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Hadits (PGMI-2B)
Dosen Penganpu : H. Fakhrur Rozi, M. Ag








Disusun Oleh :
Maftukhatul Atik        (123911066)
Mardhiatun Sholikhah        (123911067)
Marisatunniyyah        (123911068)
Mughfiroh            (123911069)
Muhammad Abu Naim    (123911070)



FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013 
I.    PENDAHULUAN
Maha suci Allah yang telah menciptakan makhlukNYA berpasang-pasangan sesuai dengan jenisnya. Islam merupakan agama yang mempunyai hukum secara universal yang telah diatur dalam Al Qur’an dan Hadits. Sesungguhnya satu-satunya petunjuk bagi manusia adalah petunjuk yang datangnya dari Allah SWT. Untuk itu bagi seseorang yang ingin menikah maka keduanya harus saling memahami, mencintai, dan mengasihi.
Islam sangat memperhatikan keluarga, islam juga memberikan penjelasan yang nyata bahwa betapapun keluarga itu harus diwarnai dengan rasa cinta dan kasih sayang. Tetapi, tujuan pernikahan sebenarnya adalah untuk menjalankan sunnah Rasul dan melahirkan keturunan atau generasi yang menjaga nilai-nilai ajaran Islam.
II.    RUMUSAN MASALAH
A.    Jelaskan Pengertian, Hukum dan Tujuan Pernikahan!
B.    Apa saja Rukun dan Syarat Sah Pernikahan?
C.    Apa saja Larangan Pernikahan?
D.    Sebutkan beberapa Hadits tentang Pernikahan!
E.    Sebutkan Hikmah Melakukan Pernikahan!

III.    PEMBAHASAN
A.    Pengertian Pernikahan
Perkawinan disebut juga “pernikahan”, berasal dari kata nikah نكاح) (yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukan dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi). Kata “nikah” sendiri sering dipergunakan untuk arti persetubuhan (coitus), juga untuk arti akad nikah.
Nikah menurut istilah ialah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafaz nikah atau dengan kata-kata yang semakna dengannya. 
Pengertian diatas tampaknya dibuat hanya melihat dari satu segi saja, yaitu kebolehan hukum dalam hubungan antara seorang laki-laki dan seorang wanita yang semula dilarang menjadi diperbolehkan. Padahal setiap perbuatan hukum itu mempunyai tujuan dan akibat. Dalam hal ini, Muhammad Abu Ishrah memberikan definisi yang lebih luas yang juga dikutip oleh zakiah drajat:
Pernikahan adalah akad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami istri) antara pria dan wanita dan mengadakan tolong menolong dan member batas hak bagi pemiliknya serta pemenuhan kewajiban bagi masing-masing.
Dari pengertian ini pernikahan mengandung aspek akibat hukum, melangsungkan pernikahan ialah saling mendapat hak dan kewajiban serta bertujuan mengadakan hubungan pergaulan yang dilandasi tolong menolong. Karena pernikahan termasuk pelaksanaan agama, maka di dalamnya terkandung adanya tujuan/maksud mengharapkan keridhaan Allah SWT.
Islam menganjurkan orang berkeluarga karena dari segi batin orang dapat mencapainya melalui berkeluarga yang baik, seperti dinyatakan dalam salah satu sabda Nabi SAW. Riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Ibn Abbas:
Artinya: Hai para pemuda, barangsiapa yang telah sanggup diantara kamu untuk menikah, maka menikahlah, karena sesungguhnya menikah itu dapat mengurangi pandangan( yang liar) dan lebih menjaga kehormatan.
a.    Hukum Melakukan Pernikahan
Hukum taklifi untuk pernikahan disebut oleh beberapa ulama dengan istilah sifat yang disyari’atkan dalam sebuah pernikahan. Sifat tersebut berbeda-beda sesuai dengan kondisi seseorang, yaitu dilihat dari sisi kemampuannya dalam menunaikan kewajibannya dan dari sisi rasa takut akan terjerumus pada jurang kemaksiatan. Untuk itu, hukum perkawinan bagi seorang mukalaf itu ada lima macam.
1.    Wajib
Bagi orang yang sudah mempunyai kemauan dan kemampuan menikah dan dikhawatirkan akan tergelincir pada perbuatan zina seandainya tidak menikah, maka hukum menikah bagi orang tersebut adalah wajib.
2.    Sunnah
Orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk menikah, tetapi kalau tidak menikah tidak dikhawatirkan akan berbuat zina, maka hukum melakukan pernikahan bagi orang tesebut adalah sunnah.
3.    Haram
Bagi orang yang tidak mempunyai niat bertanggung jawab dalam rumah tangganya, menelantarkan keluarganya di kemudian hari (berniat menyakiti istri), maka menikah bagi orang tersebut hukumnya adalah haram.
4.    Makruh
Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan pernikahan juga cukup mempunyai kemampuan untuk menahan diri sehingga tidak memungkinkan dirinya tergelincir berbuat zina jika tidak menikah, maka hukumnya adalah makruh.
5.    Mubah
Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya, tetapi apabila tidak melakukannya tidak khawatir akan berbuat zina dan apabila melakukannya juga tidak akan menelantarkan istri. Pernikahan orang tersebut hanya didasarkan untuk memenuhi kesenangan bukan dengan tujuan menjaga kehormatan agamanya dan membina keluarga sejahtera. Apabila mempunyai keragu-raguan dalam hal ini juga sama yaitu hukumnya mubah.
b.    Tujuan pernikahan
Tujuan pernikahan menurut agama islam adalah untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga. Sejahtera artinya terciptanya ketenangan lahir dan batin disebabkan terpenuhinya keperluan hidup lahir batinnya, sehingga timbullah kebahagiaan yakni kasih sayang antar anggota keluarga.
Allah SWT mengatur hidup manusia dengan aturan pernikahan. Jadi, aturan pernikahan menurut islam merupakan tuntunan agama yang perlu mendapat perhatian, sehingga tujuan melakukan pernikahan pun hendaknya ditujukan untuk memenuhi petunjuk agama. Sehingga dapat disimpulkan ada dua tujuan orang melangsungkan pernikahan ialah memenuhi nalurinya dan memenuhi petunjuk agama.
B.    Rukun dan Syarat Pernikahan
a.    Rukun pernikahan:
1.    Adanya calon suami dan istri yang akan melangsungkan pernikahan,
2.    Wali(dari pihak wanita),
3.    Adanya dua orang saksi,
4.    Sighat akad nikah, yaitu ijab kabul yang diucapkan oleh wali atau wakilnya dari pihak wanita, dan dijawab oleh calon pengantin laki-laki.
Pendapat diatas ialah menurut jumhur ulama’. Dan masih banyak pendapat lain mengenai rukun nikah.
Mahar yang harus ada dalam setiap pernikahan tidak termasuk kedalam rukun, karena mahar tersebut tidak mesti disebut dalam akad pernikahan dan tidak mesti diserahkan pada waktu akad itu berlangsung. Dengan demikian, mahar itu termasuk ke dalam syarat pernikahan.
b.    Syarat Sahnya Pernikahan
Pada garis besarnya syarat sahnya melakukan pernikahan itu ada dua:
1.    Calon mempelai perempuan halal dikawini oleh laki-laki yang ingin menjadikannya istri. Jadi, perempuannya itu bukan orang yang haram dinikahi, baik karena haram dinikah untuk sementara atau selama-lamanya.
2.    Akad nikahnya dihadiri oleh para saksi.
C.    Larangan pernikahan
Secara garis besar, larangan nikah antara seorang pria dan wanita menurut Syara’ dibagi menjadi dua, yaitu halangan abadi dan halangan sementara. Yang telah disepakati ada tiga: nasab, pembesanan, dan sesusuan. Sedangkan yang diperselisihkan ada dua: zina dan li’an.
a.    Larangan karena Pertalian Nasab: ibu, anak perempuan, bibi, saudara perempuan, kemenakan.
b.    Larangan karena hubungan sesusuan: Ibu susuan, nenek susuan, bibi susuan, kemenakan susuan perempuan, saudara susuan perempuan.
Yang dimaksud dengan susuan yang mengakibatkan keharaman pernikahan ialah susuan yang diberikan kepada anak yang memang masih memperoleh makanan dari air susu.
Mengenai berapa kali seorang bayi menyusui pada seorang ibu yang akan menimbulkan keharaman pernikahan jumlahnya tidak dibatasi, asal seorang bayi telah menyusu dan merasa kenyang pada seorang ibu menyebabkan haramnya pernikahan. Dan masih banyak pendapat lainnya.
c.    Wanita yang Haram dinikahi karena hubungan Mushaharah(Pertalian Kerabat Semenda)
Yang haram dinikahi dalam hal ini antara lain adalah, mertua perempuan, anak tiri, menantu, ibu tiri.
d.    Wanita yang Haram dinikahi karena Sumpah Li’an
Seorang suami menuduh istrinya berbuat zina tanpa mendatangkan empat orang saksi. Maka suami itu diharuskan bersumpah 4 kali dan yang ke-5 kali dilanjutkan bersedia menerima laknat Allah apabila tindakannya itu dusta. Apabila terjadi sumpah li’an antara suami istri maka putuslah hubungan pernikahan keduanya untuk selama-lamanya.
e.    Wanita yang Haram dinikah bersifat sementara
1.    Dua perempuan bersaudara haram dinikahi laki-laki dalam waktu yang bersamaan.
2.    Wanita yang terikat perkawinan dengan laki-laki lain.
3.    Wanita dalam masa ‘iddah,
4.    Wanita yang ditalak tiga, haram dinikahi bekas suaminya kecuali sudah menikah lagi dengan orang lain dan melakukan hubungan badan.
5.    Wanita musyrik, menyembah selain Allah. Adapun wanita ahli Kitab, yakni wanita Yahudi dan Nasrani boleh dinikah.
D.    Hadit-hadits tentang Pernikahan
1.    Hadits Abu Hurairoh tentang kategori pemilihan jodoh
عَنْ أبِي هُرَيْرَةَ رَضِي الله عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تُنْكَحُ الْمَرْاَةُ لِاَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِدِيْنِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدَّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ (أخرجه البجاري في كتب النكاح)
Artinya: “Dari Abu Hurairah ra. (ia berkata), dari Nabi SAW. beliau bersabda: “Perempuan itu dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya. Maka hendaklah engkau memilih (perempuan) yang baik agamanya, niscaya kamu akan beruntung”. (dikeluarkan dari HR. Bukhori dalam Kitab Nikah)

 Dari keempat kriteria diatas, memilih perempuan untuk dinikahi berdasar agamanya adalah anjuran nabi Muhammad SAW. Hal ini sejalan dengan tujuan pernikahan yakni untuk menghasilkan keturunan yang baik pula, yang mana kelak akan menjadi penerus perjuangan agama Islam. Keturunan yang seperti inilah yang dimaksud oleh rasulullah sebagai keturunan yang dapat memperbanyak umat beliau. Oleh karena itu, buah yang baik akan sulit dihasilkan kecuali oleh pohon yang baik pula. Empat kriteria yang disebutkan dalam hadis diatas merupakan hal yang menjadi kebiasaan seorang laki laki ketika memilih perempuan sebagai  jodohnya. Namun Rasullallah menekankan untuk mengutamakan agama sebagai prioritas dibandingkan 3 kriteria yang lain. Nabi menyuruh kita mengutamakan mencari yang beragama bukan berarti Nabi melarang kita untuk mencari yang cantik, tetapi yang dilarang adalah mengutamakan yang cantik daripada yang beragama
Dalam hal memilih jodoh, Nabi SAW. Menganjurkan hendaknya seorang laki-laki mengetahui benar terhadap calon pasangan yang di inginkan, sebelum menikahinya. Hal ini agar tidak keliru atau salah dalam mengambil keputusan sehingga akan merusak tujuan utama pernikahan. Walaupun demikian, sepatutnya seorang laki-laki tidak mengumbar nafsunya dalam melihat calon istrinya, kecuali sekedar melihat wajah dan tangannya agar dapat diketahui secukupnya tentang kecantikan dan kepribadiannya.
2.    Hadits Abdullah bin Mas’ud tentang anjuran untuk menikah
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيْدَ عَنْ عَبْدِاللهِ قَالَ قَال لَنَا رَسُوْلُاللهِ صَلَّى الله عَلَيْه وَسَلَّمَ يَامَعْشَرَ الشَّبَبِ مَنِ
اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ  فَأِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِا لصَّوْمِ فَأِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ(أخرجه مسلم في كتاب النكاح)
Artinya: “Dari Abdurrahman bin Yazid, dari Abdullah (dia) berkata, berkata Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam: “Hai para pemuda! Barang siapa yang mampu beristri, hendaklah ia kawin; karena perkawinan itu berpengaruh besar untuk menundukkan mata (dari memandang wanita yang bukan keluarga) dan tangguh menjaga alat vital. Barang siapa yang tak sanggup kawin, hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu alat penahan nafsu birahi”.[5] (dikeluarkan dari HR. Muslim dalam Kitab Nikah)
Hawa nafsu adalah kecenderungan untuk memenuhi syahwat, Barang siapa yang memanjakan hawa nafsunya, maka hawa nafsu tersebut akan menyeretnya ke berbagai perbuatan maksiat dan dosa, dan memperosokkannya ke dalam sikap melanggar syari’at Allah.
Untuk mencegah manusia agar tidak menuruti syahwatnya adalah dengan pernikahan, dengan nikah seseorang akan mendapat tempat yang halal untuk menyalurkan syahwat. Nikah itu di sunahkan bagi orang yang sudah mempunyai hasrat menikah dan mampu dalam segi materi. Apabila sudah punya hasrat menikah tetapi belum mampu dalam segi materi maka dianjurkan untuk menahan syahwatnya dengan cara berpuasa. Sedangkan apabila seseorang tidak mempunyai keinginan untuk menikah dan tidak mampu dalam segi materi maka menikah hukumnya makruh, bahkan jika menikah itu hanya akan membuat seorang istri menderita, maka nikahnya itu haram hukumnya. Nabi Muhammad SAW menganggap bahwa menikah itu bagi seorang muslim sebagai separuh ajaran agama karena dengan menikah ini akan dapat melindungi seseorang dari kekacauan jiwa, perzinaan, dan perbuatan yang akan menjerumuskan berbagai tindak kejahatan lainnya.






3.    Hadits Aisyah tentang Nikah sebagai sunnah Nabi

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُاللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ النِّكَاحُ مِنْ سُنَّتِي فَمَنْ لَمْ يَعْمَلْ بِسُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي وَتَزَوَّجُوا فَأِ نِّي مُكَا ثِرٌ بِكُمُ الامَمَا وَمنْ كَانَ ذَاطَوْلٍ فَلْيَنْكِحْ وَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَعَلَيْهِ بِا لصِّيَام فَأِنَّ الصَّوْمَ لَهُ وِجَاءٌ(أخرجه انب ما جهفي كتا ب النكاح)
Artinya: “Dari ‘Aisyah, Dia berkata Rasulullah SAW bersabda: Nikah itu sebagian dari sunahku, barang siapa yang tidak mau mengamalkan sunahku, maka dia bukan termasuk golonganku. Dan menikahlah kalian semua, sesungguhnya aku (senang) kalian memperbanyak umat, dan barang siapa (diantara kalian) telah memiliki kemampuaan atau persiapan (untuk menikah) maka menikahlah, dan barang siapa yang belum mendapati dirinya (kemampuan atau kesiapan )  maka hendaklah ia berpuasa, sesungguhnya puasa merupakan pemotong hawa nafsu baginya.”(dikeluarkan dari HR. Ibnu Majah dalam Kitab Nikah)


4.    Larangan membujang

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُ بِالْبَاءَةِ وَيَنْهَى عَنِ التَّبَتُّلِ نَهْيًا شَدِيْدًا وَيَقُوْلُ تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ الْوَلُدَ أِنِّي مُكَاثِرٌ اْلأَنْبِيَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ(رواه احمد)

E.    Hikmah Melakukan Pernikahan
1.    Memperbanyak keturunan,
2.    Saling mengasihi antara laki-laki dan perempuan(suami-istri), membuahkan tali kekeluargaan, dan memperkuat hubungan kemasyarakatan yang oleh islam direstui.
3.    Untuk menjaga kehormatan dan kemuliaan,
4.    Menjaga diri dari syahwat dan perzinaan,
5.    Memelihara keturunan serta menjaganya,
6.    Menciptakan generasi sholeh-sholehah yang akan mendoakan orang tuanya ketika mereka meninggal.
7.    Jika anaknya yang masih kecil meninggal, maka menjadi syafaat bagi orang tuanya kelak.
8.    Menyadari tanggung jawab beristri dan menanggung anak akan menimbulkan sikap rajin dan sungguh-sungguh dalam memperkuat bakat dan pembawaan seseorang.


IV.    KESIMPULAN
Nikah menurut istilah ialah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafaz nikah atau dengan kata-kata yang semakna dengannya.
Secara lebih rinci definisi pernikahan adalah, akad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami istri) antara pria dan wanita dan mengadakan tolong menolong dan member batas hak bagi pemiliknya serta pemenuhan kewajiban bagi masing-masing.
Hukum melakukan pernikahan antara lain adalah: wajib, sunnah, haram, mubah, dan sunnah.
Tujuan pernikahan menurut agama islam adalah untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga. Sejahtera artinya terciptanya ketenangan lahir dan batin disebabkan terpenuhinya keperluan hidup lahir batinnya, sehingga timbullah kebahagiaan yakni kasih sayang antar anggota keluarga.


V.    PENUTUP
Demikian makalah dari kelompok kami, kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah kami selanjutnya. Mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semua. Aamiin Ya Robbal ‘alamin...

























DAFTAR PUSTAKA
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana    Perdana Media Group

 Drajat Zakiah, 1995. Ilmu Fiqh. Yogyakarta: Dana Bkakti Wakaf

Ghazali Abdul Rahman, 2010.  Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana

Ghazali Al, 2008. Mutiara Ihya’ Ulumuddin. Bandung: PT Mizan Pustaka

Mathlub Abdul Majid Mahmud, 2005. Panduan Hukum Keluarga Sakinah, Solo: Era Intermedia

Thalib M, 1995. 40 Petunjuk Menuju Perkawinan Islami. Bandung: Irsyad

Selasa, 30 April 2013

BERBAGAI PENDEKATAN KONTEKS STUDI ISLAM
MAKALAH
Makalah in disusun untuk memenuhi mata kuliah Pendidikan Studi Islam
Dosen Pengampu: M. Rikza Chamami, MSI






Disusun oleh :
PGMI 2 B
Elwin maftukhah    (123911045)
Hanik rosidah        (123911049)
Lailatus saadah    (123911059)
Marisatunniyyah    (123911068)
Muhammad shodiqin    (123911071)
Naily rahmawati    (123911074)
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakaatuh.
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan segala kenikmatan, baik kenikmatan berfikir sehingga dapat membandingkan baik dan buruk, maupun kenikmatan bergerak sehingga apa yang diyakini sebagai suatu kebaikan dapat terealisasikan secara baik pula dalam tingkah polah makhluk dalam keseharian.
Berbicara mengenai studi Islam. Di dalam benak fikiran kita, pasti terbesit rasa ingin tahu yang mendalam mengenai Islam secara komprehensif. Memahami Islam lebih luas dan mendalam. Persoalan tentang studi Islam menempati tempat yang penting untuk diuraikan. Selain makalah ini hadir karena suatu kewajiban menyelesaikan tugas makalah yang diampu oleh Bpk. M. Rikza Chamami, MSI, makalh ini juga kami hadirkan kepada para pembaca dengan harapan bisa menambah ilmu bagi para pembaca, terlebih bagi kami.
Kami memberi judul pada makalah ini “Berbagai Pendekatan Konteks Studi Islam”. Didalam makalah ini kami mencoba menerangkan berbagai pendekatan-pendekatan yang sering dipakai dalam studi Islam.
Makalah ini tidak dapat terselesaikan tanpa ada campur tangan dan relawan dalam proses penulisan. Bpk. M. Rikza Chamami, MSI yang senantiasa memotivasi kami, dan teman-teman PGMI 2 B Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo yang selalu mendukung dan mengingatkan akan kedisiplinan dalam menulis dan mengerjakan tugas.
Dalam pembuatan makalah ini pastilah masih ada banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran senantiasa kami harapkan agar pembuatan makalah kedepan lebih baik lagi.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Semarang, 02 April 2013

Penyusun


DAFTAR ISI

COVER.............................................................................................................................   
Kata Pengantar...............................................................................................................   
Daftar Isi.........................................................................................................................
BAB I...............................................................................................................................   
PENDAHULUAN...............................................................................................................   
I.1. Latar Belakang................................................................................................   
I.2. Rumusan Masalah...........................................................................................   
I.3. Tujuan Penulisan Makalah
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pendekatan Teologis
2.2. Pendekatan Yuridis
2.3. Pendekatan Psikologis
2.4. Pendekatan Historis
2.5. Pendekatan Antropologis
2.6. Pendekatan Sosiologis
2.7. Pendekatan Filosofis
2.8. Pendekatan Fenomenologis

BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
3.2. Saran
DAFTAR PUSTAKA




BAB I

PENDAHULUAN
1.1.    Latar Belakang
Dwasa ini, untuk membangun pandangan-pandangan Islam, diperlukan pengembangan kemampuan personal. Dalam pandangan tersebut, pengembangan kemampuan personal merupakan persiapan yang bermanfaat untuk meneliti pemahaman terkait suatu pendidikan, khususnya mengenai pendidikan Islam (studi Islam). Terdapat suatu upaya dan tenaga untuk mengembangkan Islam seperti sekarang ini. Namun tak menutup kemungkinan upaya-upaya tersebut haruslah berlaku hingga sekarang. Sebab permasalahan-permasalahan dan berbagai cara pandang mengenai Islam semakin hari semakin kompleks. Butuh adanya jalan tengah yang bisa menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut.
Salah satu jalan tengah dari permasalahan permasalahan adalah melalui pendekatan-pendekatan. Pendekatan-pendekatan tersebut, diharapkan dapat menjawab atas semua permasalahan yang terjadi.
Pendekatan-pendekatan yang digunakan, antara lain pendekatan teologis, yuridis, psikologis, historis, antropologis, sosiologis, filosofis, dan fenomenologis. Untuk lebih jelasnya, pendekatan-pendekatan tersebut akan dijabarkan dalam bab selanjutnya.
1.2.    Rumusan Masalah
1.    Pendekatan apa sajakah yang digunakan dalam konteks studi Islam?
2.    Bagaimana penjelasan dari masing-masing pendekatan?
1.3.    Tujuan Penulisan Makalah
Untuk menjelaskan pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam konteks studi Islam.


BAB II
PEMBAHASAN
Dalam studi Islam, diperlukan adanya pendekatan-pendekatan yang bertujuan untuk mencari dan memahami Islam dan hal-hal yang terkait didalamnya. Ada beberapa pendekatan yang digunakan dalam studi Islam. Diantaranya yaitu pendekatan teologis, yuridis, psikologis, historis, antropologis, sosiologis, filosofis, dan fenomenologis.
2.1.    PENDEKATAN TEOLOGIS

1.    Pengertian Teologi
Istilah teologi lahir dalam tradisi Kristen. Secara harfiyah, teologi berasal dari bahasa Yunani, theosdan logos yang berarti ilmu ketuhanan. Istilah teologi dalam bahasa Yunani tersebut, dalam tradisi Islam dikenal dengan ilmu kalam yang berarti perkataan-perkataan manusia tentang Allah.Tetapi pengertian ini menurut Steenbrink (1987:10) dianggap kurang cocok karena teologi memang tidak bermaksud membicarakan problematika mengenai ketuhanan, baik wujud, sifat, dan perbuatan-Nya, yang dalam khasanah islam disebut ilmu kalam. Teologi tidak identic dengan ilmu kalam atau ilmu luhut yang oleh Al-Ahwani diartikan sebagai rangkaian argumentasi rasional yang disusun secara sistematik untuk memperkokoh kebenaran akidah agama Islam (Al-Ahwani, 1995:17).A. Hanafi mengartikan ilmu kalam sebagai upaya mempertahankan keyakinan seputar masalah ketuhanan dari serangan-serangan pihak luar dengan menggunakan pendekatan filsafat atau dalili-dalil aqli.
Dalam Encyclopaedia of Religion and Religions, dikatakan bahwa teologi adalah ilmu yang membicarakan tentang tuhan dan hubungan-Nya dengan alam semesta, namun sering kali diperluas mencakup seluruh bidang agama.Dengan demikian, teologi memiliki pengertian luas dan identic dengan ilmu agama itu sendiri.Dalam diskursus ilmiah, istilah teologi biasanya memiliki arti yang khusus.Teologi, kata Pidekso, sebagai upaya seluruh orang beriman dalam menangkap, memahami serta memberlakukan kehendaktuhan melalui konteksnya (Ambednego, 1994:15).Teologi adalah refleksi orang yang beriman tentang bagaimana bentuk atau nilai-nilai kualitas iman yang dimilikinya. Kata Anselmus, teologi adalah fides quaren intellectum, iman yang mencari pengertian (Amin, 1988: ix).
Teologi juga dapat dilihat dari tiga segi: teologi actual yaitu berteologi yang melahirkan keprihatinan iman dalam wujud tingkah laku sehari-hari; teologi intelektual, yaitu teologi yang melahirkan pemikiran keagamaan berjilid-jilid yang hanya dipahami oleh para alim dibidang ini dan teologi spiritual yang melahirkan perilaku mistik.
2.    Teologi sebagai Metode Studi Islam
Pendekatan teologi dalam studi agama adalah pendekatan iman untuk merumuskan kehendak Tuhan berupa wahyu yang disampaikan kepada para nabinya agar kehendak tuhan itu dapat dipahami secara dinamis dalam konteks ruang dan waktu.Karena itu, pendekatan teologis dalam studi agama disebut juga pedekatan normative dari ilmu-ilmu agama itu sendiri. Secara umum, metode teologis/normatifdalam studi agama bertujuan untuk mencari pembenaran  dari suatu ajaran agama atau dalam rangka menemukan pemahaman/pemikiran keagamaan yang lebih dapat dipertanggung jawabkan secara normative idealistik.
Dalam Islam, metode teologis, khususnya teologi intelektual, telah melahirkan ilmu-ilmu keagamaan yang mantap, baik objek maupun metodologinya. Ilmu-ilmu keagamaan itu antara lain ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu fikih, ilmu akhlak/tasawuf dan ilmu klam yang masing-masing memiliki cabang atau ilmu bantunya. Ilmu tafsir misalnya memiliki ilmu bantu seperti ulun Al-Qur’an, asbab al-nuzul dan balaghah. Walaupun ilmu-ilmu keagamaan berdiri sendiri, tetapi tetap memerlukan satu kesatuan yaitu dalam rangka menangkap dan menjelaskan kehendak tuhan.
3.    Hubungan antara Teologi dan Studi-Studi Keagamaan
Ada tiga konsekuensi terhadap teologi dan studi-studi keagamaan:
a.    Jelas bahwa teologi Kristen dengan sendirinya tidak dapat menjadi satu-satunya kunci bagi “rethinking” ini. Teologi-teologi lain Muslim, Yahudi, Hindu, Budha, dan Konghucu masing-masing memiliki peranya sendiri. Demikian pula, studi-studi keagamaan memainkan peran signifikan karena perannya secara inheren lebih luas dibandingkan peran teologi Kristen, dan pencarian atas teologi global muncul baik dalam lingkungan studi-studi keagamaan maupun dalam teologis.
b.    Studi-studi keagamaantelah meiliki tempat dalam dua model diantara model-model yang telah dipaparkan diatas. Oleh karena itu, terjadi perdebatan yang terus menerus tentang apakah ia harus ditempatkan dalam departemen teologi atau departemen humanitas (departemen ilmu social). Lebih dari kebanyakan wilayah studi lainnya, studi keagamaan mencakup beragam metode dan pendekatan dan olehkarena itu, bagaimanapun juga ia memiliki pengaruh yang luas terhadap pengetahuan. Teologi tampaknya juga perlu memperluas focus intelektualnya pada wilayah pengetahuan yang lebih luas dan membantu proses “rethinking” sekalipun kerangka kerja tradisinya bersifat partikular yang menjadikannya lebih rumit daripada studi-studi keagamaan.
c.    Studi keagamaan dan teologi menyadari bahwa keduanya memiliki tugas yang penting dalam ketiga proses pengetahuan dan ketiga model pengetahuan yang di kemukakan di atas, tidak semata dalam segmennya sendiri. Dalam banyak lingkaran, perlahan mulai tumbuh kesadaran mengenai komplementaritas antara teologi dan studi-studi keagamaan dalam agama dunia global.
4.    Teologi Agama-Agama (Theology of Religions)
Bagi umat Hindu semenjak era klasik, konsep-konsep kunci tertentu telah menjadi parameter bagi way of life Hindu. Konsep itu berpusat pada gagasan tentang Brahmana sebagai realitas ultimate di balik alam, Atman sebagai diri inner dalam manusia, nasib manusia sebagai lingkaran kelahiran kembali yang terus-menerus, penyelamatan sebagai pelapisan diri dari kelahiran kembali, cara-cara penyadaran inner (jnana), ketaatan (bhakti), dan terlibat aktif di dunia (di bawah kuasa Tuhan) sebagai jalan penyelamatan, dan peran berbagai dewa personal seperti Shiwa, Wisnu, Dewi, dan dua inkarnasi dasar dari Wisnu (avataras) yakni Rama dan Khrisna. Dalam kaitan dengan tradisi Budhis menolak gagasan tentang ketuhanan (dalam pengertian Brahmana), dan bahkan (real self) diri yang sesungguhnya (dalam pengertian Atman) dan menggunakan kata seperti “transendentologi” sebagai ganti teologi untuk mengakomodasi gagasan-gagasan Budhis tentang Nirwana dan Dharma yang memiliki nuansa transendensi.
Dalam menganalisis teologi-teologi agama (theology of religion), sarjana agama akan menemui sejumlah perbedaan teologis dalam tradisi-tradisi keagamaan. Perubahan itu bias jadi merupakan perbedaan subtansi atau perbedaan cara kerja teologi (ways of doing theology). Perbedaan yang terdapat dalam tradisi itu dapat bertepatan dengan perbedaan-perbedaan lintas tradisi atau justru tidak bersesuaian.
Terdapat beragam tipe teologi dalam masing-masing tradisi. Secara mendasar terdapat empat macam tipe:
1.    Tipe teologi deskriptif, historis, positivistic yang disukai para sejarahwan dalam setiap tradisi yang berusaha mendeskripsikan apa yang fungsional secara doctrinal tanpa mengabaikan pertimbangan lain. Tipe ini merupakan tipe yang terdekat dengan teologi fenomenologis, dan lebih memfokuskan pada deskripsi daripada pengakuan siman.
2.    Tipe teologi sistematik yang berusaha meringkas doktrin-doktrin dari komunitas beriman dalam suatu pengertian pengakuan (confessional). Dalam hal ini, tidak ada upaya agar menjadi bebas nilai, tetapi dimaksudkan untuk mengkonstruksi posisi-posisi doctrinal dan persasian keimanan dengan suatu cara yang akan meningkatkan tradisi itu. Seluruh tradisi keagamaan memiliki tipe tipologi ini.
3.    Tipe teologi filosofis yang berusaha terlibat dengan posisi-posisi lain pada tingkat filosofis, dengan membawa dan memberikan reaksi kepadanya secara serius. Salah satu tujuannya mungkin tetap apologetik yakni mempertahankan dan menonjolkan posisinya sendiri dengan argument yang ternalar.
4.    Terdapat apa yang secara lebih luas disebut dengan teologi dialog. Waktu-waktu terakhir , tipe ini lebih lazim namun bukan berarti di masa lalu tidak ada. Tipe ini mengandung keinginan secara sengaja untuk memahami tradisi-tradisi lain demi kepentingannya sendiri, bukan semata-mata karena alasan apologetik. 
5.    Teologi Agama-Agama Global: Ke Arah Etika Global
Pada tanggal 4 September 1993, dalam suatu pertemuan yang menandai seratus tahun Chicago world parliament of religion 1893, diluncurkan suatu deklarasi kearah suatu etika global.Meskipun panjang, hal ini patut dikutip secara sempurna.
Kami Menyatakan:
Kita saling bergantung.Masing-masing kita bergantung pada kesejahteraan keseluruhan dan oleh karenanya, kita menghargai komunitas segala yang hidup; manusia, binatang, tumbuhan, pelestarian bumi, udara, air, dan minyak.
Kita memilki pertanggung jawaban individual atas segala yang kita lakukan.Seluruh keputusan, perbuatan, dan kegagalan kita dalam bertindak memilki konsekuensi.
Kita harus memperlakukan pihak lain sebagaimana kita ingin diperlakukan oleh mereka.
Kita membuat suatu komitmen untuk menghormati kehidupan dan harkat, individualitas dan diversitas sehingga setiap orang diperlakukan secara manusiawi, tanpa terkecuali.Kita harus memilki kesabaran dan sikap menerima.Kita harus dapat memaafkan, belajar dari masa lampau namun tidak pernah membiarkan dirikita diperbudak oleh memori kebencian. Membuka hati untuk orang lain.
Kita mempertimbangkan keluarga kita.Kita harus berusaha keras untuk menjadi baik dan murah hati. Kita hidup harus tidak untuk  diri kita sendiri tetapi juga mesti untuk orang lain, tidak pernah melupakan anak-anak, orang lanjut usia, orang miskin, orang yang menderita, cacat, pengungsi, dan orang-orang yang sebatang kara.
Kita commit pada suatu kebudayaan tanpa kekerasan, penuh penghargaan, keadilan, dan kedamaian. Kita tidak akan menindas, melukai, menganiaya, atau membunuh manusia lain, meninggalkan kekerasan sebagai cara menyelesaikan perbedaan.
Kita harus berusaha keras mewujudkan aturan social dan ekonomis yang adil di mana setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai potensi yang sempurna sebagai seorang manusia. Kita harus berbicara dan berbuat dengan segala kesungguhan dan dengan rasa keharuan, berlaku jujur terhadap semua orang dan menghindari prasangka dan kebencian.
Kami menyeru seluruh manusia, entah yang religious maupun tidak, untuk melakukan hal yang sama.
Tujuan pendekata teologi ini adalah memahami agama, memahami system-sistem konseptual agama di dalam dan antar agama, termasuk etika-etika agama.
2.2.    Pendekatan Yuridis
Yuridis adalah hukum, jadi yamg dmaksud dengan pendekatan yuridis adalah pemahaman agama islam secara hukum menurut islam. Hukum yang dpakai umat islam adalah berdasarkan AL-QUR’AN dan WAHYU yang diturunkan ALLAH kepada para NABI. Islam mengajarkan manusia untuk `mentaati peraturan, sedangkan peraturan merupakan hukum itu sendiri. Dalam pelaksanaannya manusia kurang menyadari bahwa pendekatan yuridis sudah dialami oleh para Nabi. Islam adalah agama. Perkembangan yuridis itu sendiri prosesnya dapat dibagi menjadi 4 periode:
1.    Periode Nabi
2.    Periode Sahabat
3.    Periode Ijtihad dan kemajuannya
4.    Periode Taklid dan kemundurannya
1.    Periode Nabi
Segala persoalan dikembalikan kepada Nabi untuk menyelesaikan setiap masalah yang ada, karena Nabi merupakan sumber hokum. Secara tekstual pembuat hokum adalah Nabi, tetapi secara kontesktual pembuat hokum adalah Allah, karena hokum yang dikeluarkan Nabi bersumber pada wahyu dari Allah. Nabi sebenarnya bertugas menyampaikan dan melaksanakan hokum yang ditentukan oleh Allah. Sumber hokum yang ditinggalkan Nabi untuk umatnya setelah zamanya adalah Al-Qur’an dan Sunnah.
2.    Periode Sahabat
Pada zaman para sahabat daerah yang dikuasai islam semakin luas. Daerah-daerah yang diluar Semenanjung Arabia telah mempunyai kebudayaan yang lebih maju dan susunan masyarakat yang modern dibandingkan dengan masyarakat Arabia ketika itu. Jadi persoalan-persoalan yang dihadapi pada periode sahabat kepada masyarakat yang berada di daerah baruitu lebih sulit penyelesainnya dibandigkan dengan persoalan yang dihadapi masyarakat Arabia itu sendiri.
Untuk mencari penyelesaiannya para sahabat kembali kepada Al-Qur’an sunnah yang ditinggalkan Nabi. Al-Qur’an sendiri pada masa sahabat dihafal sedangkan sunnah tidak dihafal oleh semua sahabat, setelah Al-Qur’an dihafal oleh semua sahabat maka pada masa kholifah Abu Bakar Al-Qur’an dibukukan sedangkan sunnah (hadits) tidak dibukukan karena para sahabat lebih condong kepada Al-Qur’an.
Pada masa sahabat mempunyai masalah yang tidak bisa dselesaikan karena mereka sudah mencari didalam al-qur’an dan hadits tidak bias menyelesaikan masalah tersebut, maka mereka berijtihat untuk menyelesaikan masalah. Tetapi turunya wahyu Cuma pada periode Nabi maka para sahabat melakukan ijma’ atau konsesus sahabat. Maksudnya ijma’ yaitu kholifah tidak memutuskan masalah hokum dengan sendiri tetapi bertanya lebih dahulu kepada para sahabat yang lainnya.
Sumber hokum yang ditinggalkan para sahabat adalah Al-Qur’an, Sunnah Nabi dan Sunnah sahabat.
3.    Periode Ijtihad
Pada periode ini islam mengalami kejayaan yang terjadi pada tahun 700-1000 Masehi. Periode ini juga disebut periode pengumpulan hadist, ijtihad atau fatwa sahabat dan tabi’in (generasi setelah sahabat). Sesuai dengan bertambah luasnya daerah islam, berbagai macam bangsa masuk islam dengan membawa berbagai macam adat-istiadat, tradisi dan system kemasyarakatan. Problematika hokum yang dihadapi beragam. Untuk mengatasi para ulam-ulama banyak mengadakan ijtihad. Ijtihad mereka berdasarkan al-qur’an, sunnah nabi, sunnah sahabat. Maka timbullah ahli-ahli hokum mujtahid  yang disebut imam atau faqih (fuqaha’) dalam islam.
Maka kita saat ini mengenal dengan nama mahzah yang dimana kita ketahui ada 4 mahzab yaitu :mahzab Hanafi, mahzab Maliki, mahzab Syafi’I dan mahzab Hambali.
4.    Periode Tklid
Periode taklid tejadi pada abad ke-4 Hijriah (abad ke-11 Masehi) bersamaan dengan kemunduran islam dalan sejarahnya. Masyarakat sudah tidak tetuju pada sumber-sumber hokum yang telah ada sebelum periodenya, tetapi mereka lebih tetu hanya untuk mempertahankan hokum menurut mahzabnya masing-masing setiap individu atau kelompok. Ulama-ulama caliber besar yang sederajat dengan Abu Hanafiah, Maliki, Syafi’I dan Ibnu Hambal sudah tiadak ada lagi dan ijtihad yang dijalankan para ul;ama belum mencapai derajat yang mujtahid, maka mereka hanya membawa kekacauan dalam bidang hokum dan dalam masyarakat.
2.3.    Pendekatan Psikologis
Psikologi atau Ilmu Jiwa adalah ilmu yang mempelajari jiwa seseorang melalui gejala perilaku yang dapat diamatinya. Menurut Zakiah Daradjat bahwa perilaku seseorang yang nampak jahiriyah terjadi karena dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya. Seseorang ketika berjumpa saling mengucapkan salam, hormat kepada kedua orang tua, kepada guru, rela berkorban untuk kebenaran dan sebagainya adalah merupakan gejala-gejala keagamaan yang dapat dijelaskan melalui ilmu jiwa agama. Ilmu jiwa agama sebagaimana dikemukakan oleh Zakiah Darajat tidak akan mempersoalkan benar tidaknya suatu agama yang dianut oleh seseorang, melainkan yang dipentingkan adalah bagaiman keyakinan agama tersebut terlihat pengaruhnya dalam perilaku penganutnya.
Dalam ajaran agama banyak kita jumpai istilah-istilah yang menggambarkan sikap batin seseorang. Misalnya sikap beriman dan sikap bertakwa kepada Allah, sebagai orang yang saleh, orang yang berbuat baik, orang yang jujur dan sebagainya. Semua itu adalah gejala-gejala kejiwaan yang berkaitan dengan agama.
Dengan ilmu jiwa seseorang selain akan mengetahui tingkat keagamaan yang dihayati, dipahami dan dan diamalkan seseorang, juga dapat digunakan sebagai alat untuk memasukkan agama ke dalam jiwa seseorang sesuai dengan tingkat usianya. Dengan ilu ini agama akan menemukan cara yang tepat dan cocok untuk menamakannya.
Kita misalnya dapat mengetahui pengaruh dari salat, puasa, zakat, haji dan ibadah lainnya dengan malalui Ilmu Jiwa Dengan mengetahui ini, maka dapat disusun langkah-langkah baru yang lebih efisien lagi dalam menanamkan ajaran agama. Itulah sebabnya ilmu jiwa ini banyak digunakan sebagai alat untuk menjelaskan gejala  atau sikap keagamaan seseorang.
Dari uraian tersebut di atas kita melihat ternyata agama dapat dipahami melalui berbagai pendekatan. Dengan pendekatan itu semua orang akan sampai pada agama. Seorang teolog, sosiolog, antropolog, sejarawan, ahli ilmu jiwa dan budayawan akan sampai paa pemahaman agama yang benar. Disini kita melihat bahwa agama bukan hanya monopoli kalangan teolog dan normatif belaka, melainkan agama dapat dipahami semua orang sesuai dengan pendekatan dan kesanggupan yang dimilikinya. Dari keadaan demikian seseorang akan memiliki kepuasan dari agama, karena seluruh persoalan hidupnya mendapat bimbingan dari agama.
2.4.    Pendekatan Historis
Kata sejarah secara harfiah berasal dari bahasa arab “syajaratun” yang artinya pohon. Dalam bahasa arab sendiri, sejarah disebut dengan tarikh. Adapun kata tarikh dalam bahasa Indonesia artinya kurang lebih adalah waktu atau penanggalan. Kata Sejarah lebih dekat pada bahasa Yunani yaitu historia, yang berarti ilmu atau orang pandai. Kemudian dalam bahasa Inggris menjadi history, yang berarti masa lalu manusia. Kata lain yang mendekati acuan tersebut adalah Geschichte yang berarti sudah terjadi.
Pengertian sejarah secara istilah ilmu yang didalamnya membahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, obyek, latar belakang, dan pelaku dari peristiwa tersebut. Menurut ilmu ini segala peristiwa dan dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi, di mana, apa sebabnya, siapa yang terlihat dalam peristiwa tersebut.
Melalui pendekatan sejarah seseorang diajak menukik dari alam idealis ke alam yang bersifat empiris dan mendunia. Dari keadaan ini seseorang akan melihat adanya kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam alam idealis dengan yang ada di alam empiris dan historis.
Pendekatan kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam memahami agama, karena agama itu sendiri turun dari situasi yang konkret bahkan berkaitan dengan kondisi sosial kemasyarakatan. Dalam hubungan ini Kuntowijoyo telah melakukan stusi yang mendalam terhadap terhadap agama yang dalam hal ini Islam, menurut pendekatan sejarah. Ketika ia mempelajari al-Qur’an, ia sampai pada suatu kesimpulan bahwa pada dasarnya kandungan al-Qur’an itu terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama, berisi konsep-konsep, dan bagian kedua, berisi kisah-kisah sejarah dan perumpamaan.
Dalam bagian pertama yang berisi konsep-konsep, kata mendapati banyak sekali istilah al-Qur’an yang merujuk kepada pengertian-pengertian normatif yang khusus, doktrin-doktrin etik, aturan-aturan legal dan ajaran-ajaran keagamaan pada umumnya. Istilah-istilah, atau singkatnya pernyataan-pernyataan itu mungkin diangkat dari konsep-konsep yang telah dikenal oleh masyarakat Arab pada waktu al-Qur’an diturunkan atau bisa jadi merupakan istilah-istilah baru yang dibentuk untuk mendukung adanya konsep-konsep religius yang ingin diperkenalkqnnya. Yang jelas, istilah-istilah itu kemudian diintegrasikan ke dalam pandangan dunia al-Quran, dan dengan demikian, menjadi konsep-konsep yang otentik.
Dalam bagian pertama ini, kita mengenal banyak sekali konsep baik yang bersifat abstrak maupun konkret. Konsep tentang Allah,  konsep tentang Malaikat, tentang akhirat, tentang ma’ruf, munkar dan sebagainya adalah konsep-konsep yang abstrak. Sementara itu juga ditunjukkan konsep-konseo yang lebih menunjuk kepada fenomena konkret dan dapat diamati (obsereable), misalnya konsep tentang fuqara (orang-orang fakir), dhu’afa (orang-oran lemah), mustadh’afin (kelas tertindas), zhalimun (para tiran), agniya (orang-orang kaya), mustakbirun (penguasa), mufasidun (koruptor-koruptor) dan sebagainya.
Selanjutnya jika pada bagian yang berisi konsep-konsep, al-Qur’an bermaksut membentuk pemahaman yang komprehensif mengenai nilai-nilai Islam, maka pada bagian kedua yang berisi kisah-kisah dan perumpamaan, al-Qur’an ingin mengajak dilakukannya perenungan untuk memperoleh hikmah. Melalui kontemplasi terhadap kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa historis, dan juga melalui metafor-metafor yang berisi hikmah tersembunyi, manusia diajak merenungkan hakikat dan maka kehidupan. Banyak sekali ayat yang berisi ajakan semacam ini, tersirat maupun tersurat, baik menyangkut hkmat historis ataupun menyangkut simbol-simbol. Misalnya simbol tentang rapuhnya rumah laba-laba, tentang keganasan samudera yang menyebabkan orang-orang kafir berdoa.
Melalui pendekatan sejarah ini seseorang diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa. Dari sini, maka seseorang tidak akan memahami agam keluar dari konteks historisnya. Seseorang ingin memahami al-Qur’an secara benar misalnya, yang bersangkutan harus mempelajari sejarah turunnya al-Qur’an atau kejadian-kejadian yang emngiringi urunnya al-Qur’an yang selanjutnya disebut sebagai Ilmu Asbab An-nuzul (Ilmu tentang Sebab-sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an) yang pada intinya berisi sejarah turunnya ayat al-Quran. Dengan Ilmu Asbabunnuzul ini seseorang dapat mengetahui hikmah yang terkandung dalam suatu ayat yang berkenaan dengan hukum tertentu, dan ditujukan untuk memelihara syari’at dari kekeliruan memahaminya. 
2.5.    Pendekatan Antropologis
Pendekatan antropologis yaitu suatu upaya untuk memahami agama dengan cara melihat praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam suatu masyarakat. Dengan pendekatan seperti ini agama terasa akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang di hadapi setiap individu maupun kelompok untuk menyelesaikan suatu masalah yang sedang dihadapinya. Jadi cara yang digunakannya dengan disiplin ilmu antropologi untuk memehami agama. Menurut Dawam Rahardjo, dia lebih mengutamakan pengamaqtan langsung yang bersifat partisipasif (menjadi bagian dalam suatu masyarakat). Pendekatan antopologis dengan mengunakan cara penelitian yaitu: penelitian antropologis yang induktif dan grounded maksudnya pendekatan yang turun kelapagan tanpa berpijak pada upaya untuk membebaskan diri dari suatu teori-teori formal yang pada dasarnya sangat abstrak sebagaimana yang dilakukan di bidang sosiologi dan ekonomi yang mempergunakan model –model matematis, dan ini malah memberi banyak sumbagan terhadap penelitian historis.
Melalui pendekatan antropologi sosok agama yang berada pada dataran emprik akan dapat dilihat sertat-seratnya dan latar belakang mengapa ajaran agama dapat dimunculkan dan dirumuskan. Dalam penelitian antropologi agama dapat ditemukan adanya hubungan yang positif antara kepercayaan agama dengan kondisi ekonomi  dan politik suatu masyarakat.jadi kkesimpulan penelitian antropologi, golongan masyarakat yang kurang mampudan golongan masyarakat miskin pada umumnya lebih tertarik pada gerakan keagamaan yang bersifat mesianis sedangkan golongan kaya lebih tertarik (cenderung) untuk mempertahankan tatanan masyarakat yang sudah mapan secara ekonomi lantaran tatanan tersebut menguntungkan pihaknya.

2.6.    Pendekatan Sosiologis
Sosiologis adalah ilmu yang mempelajari kehidupan manusia dalam tata kehidupan bersama. Pusat perhatiannya adalah kehidupan kelompok dan tingkah laku sosial. Sosiologi didefinisikan secara luas sebagai bidang penelitian yang tujuannya meningkatkan pengetahuan melalui pengamatan dasar manusia, kebiasaan-kebiasaan, ritual-ritual, dan pola organisasi serta hukum-hukumnya.
Dari definisi tersebut terlihat bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan, serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan. Asumsi dasar pendekatan sosiologi terhadap agama adalah bahwa gejala-gejala keagamaan dapat dimengerti dengan menganalisisnya sebagai gejala sosial, sebagai sesuatu yang tercipta dalam hubungan antara manusia, dan karenanya dapat dijelaskan dengan menggunakan terori-teori yang berlaku dalam ilmu sosial. Selanjutnya, sosiologi dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami agama. Hal demikian dapat dimengerti, karena banyak bidang kajian agama yang baru dapat dipahami secara proporsional dan tepat apabila menggunakan jasa bantuan dan ilmu sosiologi.
Jalaluddin Rahman dalam bukunya yang berjudul Islam Alternatif, menunjukkan betapa besarnya perhatian agama yang dalam hal ini Islam terhadap masalah sosial, dengan mengajukan lima alasan sebagai berikut:
Pertama, dalam Al-Qur’an atau kitab-kitab hadits, proporsi terbesar kedua sumber hukum Islam itu berkenaan dengan urusan muamalah. Menurut Ayatullah Khomaeni dalam bukunya Al-Hukumah Al-Islamiyah yang dikutip Jalaluddin Rahman, dikemukakan bahwa perbandingan antara ayat-ayat ibadah dan ayat-ayat yang menyangkut kehidupan sosial adalah satu berbanding seratus – untuk satu ayat ibadah, ada seratus ayat muamalah (masalah sosial).
Kedua, bahwa ditekankannya masalah muamalah (sosial) dalam Islam ialah adanya kenyataan bahwa bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah yang penting, maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan (tentu bukan ditinggalkan), melainkan dengan tetap dikerjakan sebagaimana mestinya.
Ketiga, bahwa ibadah yang mengandung segi kemasyarakan diberi ganjaran lebih besar dari pada ibadah yang bersifat seorangan. Karena itu shalat yang dilakukan secara berjamaah dinilai lebih tinggi nilainya dari pada shalat yang dikerjakan sendirian (munfarid) dengan ukuran satu berbanding dua puluh derajat.
Keempat, dalam Islam terdapat ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal karena melanggar pantangan tertentu maka kifaratnya (tembusannya) adalah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial.
Kelima, dalam Islam terdapat ajaran bahwa amal baik dalam bidang kemasyarakatan mendapat ganjaran lebih besar dari pada ibadah sunnah.
Ilmu sosial dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami agama. Hal ini dapat dimengerti karena banyak bidang kajian agama yang baru dipahami secara imporsional dan tepat apabila menggunakan jasa bantuan dari ilmu sosila. Pentingnya pendekatan sosial dalam agama sebagaimana disebutkan diatas, dapat dipahami, karena banyak sekali ajaran agama yang berkaitan dengan masalah sosial. Besarnya perhatian agama terhadap masalah sosial ini selanjutnya mendorong kaum agama memahami ilmu-ilmu sosial sebagai alat untuk memahami agamanya.

Pendekatan sosiologis dibedakan dari pendekatan studi agama lainnya karena fokus
perhatiannya pada interaksi antara agama dan masyarakat. Teori sosiologis tentang watak agama serta kedudukan dan signifikansinya dalam dunia sosial, mendorong ditetapkannya serangkaian kategori-kategori sosiologis, yaitu:
•       Stratifikasi sosial, seperti kelas dan etnisitas.
•      Kategori biososial, seperti seks, gender, perkawinan, keluarga, masa kanak-kanak, dan usia.  
•      Pola organisasi sosial meliputi politik, produksi ekonomis, sistem-sistem pertukaran, dan        birokrasi.
•    Proses sosial, seperti formasi batas, relasi intergroup, interaksi personal, penyimpangan, dan globalisasi.
Pendekatan sosiologis memiliki makna yang sangat penting dalam konteks studi islam. Berbagai dinamika dan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat  memerlukan telaah dan penelitan secara memadai. Dengan bantuan pendekatan sosiologis, dapat diungkap berbagai karakteristik, kekayaan khazanah, dan deskiripsi yang unik dari komunitas muslim di berbagai tempat.


2.7.    Pendekatan Filosofis
Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata philo yang berarti cinta kepada kebenaran ilmu, dan hikmah. Selain itu filsafat dapat pula berarti mencari hakikat tertentu, berusaha menautkan sebab dan akibat serta berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia. Dalam  Kamus Umum Bahasa Indonesia , Poerwadarminta mengartikan filsafat sebagai pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai sebab-sebab, asas-asas, hukum dan sebagainya terhadap segala yang ada dialam semesta ataupun mengenai kebenaran dan arti adannya sesuatu .  Jika kita melihat definisi yang diberikan oleh dua oranng yang mula-mula mencintai kebijakan- Plato dan Aristoteles –kita dapat mulai melihat bagaimana kemungkinan-kemungkinan itu dapat dimengerti. Plato mendiskripsikan filsuf sebagai  orang yang siap merasakan setiap bentuk pengetahuan, senang belajar dan tidak pernah puas. Aristoteles juga memberikan suatu definisi filsafat sebagai “pengetahuan mengenai kebenaran”. Terhadap kedua definisi tersebut kita dapat meambah definisi ketiga yang diberikan oleh Sextus Empiricus, filsafat adalah suatu aktifitas yang melindungi kehidupi yang bahagia melalui diskusi dan argumen.  Maka unsure kunci yang menyusun “cinta pada kebajikan” adalah kemauan menjaga pikiran tetap terbuka, kesediaan membaca secara luas, dan mempertimbangkan selurh wilayah pmikiran dan  memiliki perhatian pada kebenaran . Semua itu adalah bagian dari suatu aktivitas atau proses dimana dialog, diskusi, dan mngemukakan ide dan argumen merupakan intinya. Usur-unsur itu dikemukakan melaui karya-karya Plato. Metoe Plato dalam berfilsafat adalah melalui dialog, berbincang dengan orang lain (biasanya Socrates) atau sekelompok orang. Gagasannya adalah bahwa kkita dapat menggunakan dialog untuk mencari kebenaran sesuatu. Dengan mengemukakan suatu ide dan eorang menanggapinya,dan kemudinmelakukan perubahan dan penambahan ide itu melaui respon yang diberikan dan mendengarkan respon lainnya, kita secara gradual meninngkatkan kebenaran yang sedang kita bicarakan dalam tahapan dan tingnkatan yang gradual. Dialog –dialog Plato jarang mencapai kesimpulan yang pasti, namun ini tidak masalah karena ini justtru memberitahukan kkita hal yang menarik kentang filsafat. Kenyataan ini menunjukan kepada kita bahwa filsafat memilki perhatian untuk memberikan sesuatu  pembahasan  yang rasional ……tentang watang yang dilawaankan dengan pembahasan yang diterima …murni berdasar otoritas atau kenyakinan atau tradisi.
Dengan kata lain, “cinta kepada kebajikan“ ini adalah suatu komitmen, suatu kemauan yang mengikuti  sesuatu argument atau alur pemikiran atau suatu ide sampai pada suatu kesimpulan-kesimpulannya, namun setiap langkah proses itu selalu terbuka untuk ditentangkan selalu terbukan untuk dibuktikan salah. Kesimpulan-kesimpulan yang dicapai bersifat sementara dan tentative.   
Pengertian filsafat yang umum digunakan adalah pendapat yang dikemukakan Sidi Gazalba . Menurutnya filsafat adalah berfikir secara mendalam, sistematik, radikal dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti, hikmah dan hakikat mngenai segala sesuatu yang ada.
Difinisi tersebut dapat diketahui bahwa filsafat pada intinya berupanya menjelaskan inti, hakikat atau hikmah mengenai sesuatu yang berada diballik objek formanya. Filsafat mencari sesuatu yang mendasar, asas dan inti yang terdapat diballik yang bersifat lahiriah.
Dalam pendekatan ini kita memperoleh petunjuk asal-usul datangnya filsafat. Saat ini , filsafat dilihat sebagai disiplin yang melatih orang dalam seni berfikir, apayang kami maksud dengan “ seni berfikir “ adalah emperoleh sekumpulan keahlian yang memungkinkan terjadinya sesuatu bentuk pemikiran tertentu. Bentuk pmikiran ini disebut dengan argumentative atau kritis, pemikiran yang concern dengan pengajuan argument, menguji kelemahannya, membelanya dari keberatan-keberatan, dan mengembangkannya dalam suatu cara yang koheren dan logis. Berfilsafat sama halnya dengan murid-murid diajari menulis esai. Seolah – olah melakukan dialog dengan diri sendiriatau dialog dengan lawan imaginer.
Secara khusus kita dapat mengidentifiksikan empat posisi mengenai hubungan antara filsafat dan agama, sebagaimana muncul dalam suatu sejarah perdebatan. Keempat posisi itu adalah : (1) Filsafat sebagai agama,(2) Filsafat sebagai pelayan agama,(3) Filsafat sebagai yang membuat ruang bagi keimanan dan,(4) Filsafat sebagai perangkat analitis bagi agama. Terhadap posisi itu kita dapat menambahkan , (5) Filsafat sebagia study tentang penalaran yang digunakan dalam pemikkkiran keagamaan.
Posisi pertama, filsafat sebagai agama, di Barat dapat mencakup pemikiran-pemikiran seperti Plato, Plotinus, Porphyry, Spinoza, Iris Murdoch, dan pemikir proses-khususnya.Hartshorne dan Griffen. Inti dari pendekatan ini trletak pad aide bahwa dengan mereflesikaan watak realitas tertinggi – kebaikan, Tuan (God), ketuhanan (divine)- kita dapat menemumkan wawasan-wawasan yang sesungguhnya mengenai pengalaman manusia dan dunia, reefleksi memberikan gambaran yang benar tengtang bagaimana sesuatu itu. Model paandangan metafisik ini menunjukan pada kita apa yang tertinggi dan ultimate, dan memberikan kita suatu system nilai bagi hidup dalam kehidupan sehari-hari.
Posisi kedua, filsafat sebagi pelayan agama, dapat mencakup pemikir-pemikir seperti Aquinas, John Lock, Baasil Mitchell, dan Richard Swinburne. Refleksi memberikan pengetahuan parsial tentang Tuhan atau beberapa bentuk lain dari ultimate spiritual : ia dapat menunjukan rasionalitas dari proses menyakini bahwa Tuhan ada, mendiskusikan sifat-sfat Tuhan, dalam tradisi Jodeo Kristen, refleksi berfungsi untuk membangnun argument-argumen yang menunjukkan aktivitas Tuhan dalam sejarah dan kontrol Tuhan terhadap dunia. Pelaksanaan refleksi dari ini dikenal dari teologi natural . Akan tetapi  teologi natural tidak dapat memberikan keimanan seseorang, ia mesyaratkan wahyu Tuhan jika orang harus merenspon dengan keimanan dan menerima keanggunan penyelamatan. Bagi Aquinas, wahyu adalah komunitas Tuhan tentang kebenaran tanpa bantuan akal, ia tidak dapat diperoleh dengan sendirinnya, nalar manusia adalah “ muqadimmah” bagi keimanan. John Locke mengembangkan hal ini dengan menyatakan bahwa akal menetapkan suatu standar keebenaran .yanng ditetapkan oleh pengetahuan terwahyu,diuji otoritasnya,wahyu itu tidak boleh bertentangan dengan standar-standar itu. Dan posisi ini dikembangkan dalam karya Richard Swinburn baru-baru ini.
Posisi ketiga, filsafat sebagi pembuat ruang bagi keimanan dapat melipti pemikiran-pemikiran seperti William Ockham, Immanuel Kant, Karl Bath, dan Alvin Plantiga. Refleksi, paling banter hanya dapat memperliatkan ketidakmemadahinya dalam membuat pertimbangan – pertimbangan tentang agama, dengan menunjukan keterbatasan-keterbatasannya, refleksi membuka kemungkinan agama, dan menjelaskan ketergantungan manusia pada wahyu yang dengannya kita memperoleh pengetahuan dari Tuhan.
Posisi keempat, filsafat sebagai study analisis terhadap agama baarangkali adalah posisi yang paling akrab dan mencakup pemikir-pemikir seperti Antony  Flew , Paul Van Buren , R.B. Braith Waite,dan D.Z Phillips. Ini merupakan posisi paling akrab karena merupakan cara berfilsafat agama yang paling dominan dalam dunia berbahasa Inggris. Tujuannya adalah menganalisis dan menjelaskan watak dan fungsi bahasa keagamaan, menemukan bahasa untuk membicarakan Tuhan, apa dasar – dasar yang  digunakan untuk mendukung pengetahuan-pengetahuan mereka dan bagaimana  semua itu dikaitkan dengan  cara hidup mereka.
Posisi kelima, filsafat sebagai study penalaran yang digunakan dalam pemikiran keagamaan, merupakan suatu perkembangan modern dan dapat mencakup pemikir-pemikir seperti David Pailin, Maurice Wiles, dan Jhn Hick. Pendirian dibalik pendekatan agama jenis ini adalah bahwa umat beriman adalah manusia dan oleh karena itu, struktur pemikiran mereka dan kebudaya-kebudayaan partikkular, dimana mereka berada didalamnya merupakan kondisi bagi apa yang mereka yakini. Tujuannya mencoba melihat telliti berbagai konteks dimana orang beriman melangsungkan kehidupannya, mengidentifikasikan factor-faktor yang beroperasi dalam konteks itu yang dapat memengaruhi kenyakinan seseorang, dan melihat bagaimana kenyakinan itu diekspresikan dalam dokrin dan praktik. Penekanannya adalah pada kebudayaan sebagai factor formatif dan berpengaruh terhadap kenyakinan keagamaan. Sejumlah perangkat juga digunakan mencakup peranngkat historis, ilmiah, dan hermeneutic. Pailin mlaporkan bahwa bentuk pendekatan ini memperoleh tanggapan yang menentang – dan dia menunjukkan bahwa saat ini bentuk filsafat agama ini. Kita mesti menyepkati hal ini. Tugas kita sekarang adalah berusaha mengidetifikasi karakteristik yang menjadi inti pendekatan filosofis terhadap agama.





2.8.    Pendekatan Fenomenologis
Dalam diskursus filsafat, tern fenomenologi, bukanlah murni Husserlian. Jauh sebelumnya, istilah ini telah digunakan oleh para filsuf untuk menjelaskan gejala atau penampakan sebuah realitas. Menurut Cairus, orang pertama yang mengapresiasi tern ini adalah Lambert, seorang filsuf yang karya-karyanya berpengaruh pada pertengahan abad 18, terutama bukunya Neo Organom. Di buku ini, lanbert mengguanakan istilah ini untuk menjelaskan teorinya tentang penampakan fundamental pada semua pengetahuan empirik. Masih pada masa yang sama, Emmanuel Kant mmenggunakan istilah ini untuk membedakan antara phenomena dan noumena. Baginya, manusiahanya mengenal fenomen-fenomen yang tampak dalam kesadaran, bukan noumena, yaitu realitas di luar (berupa bnda atau hal-hal yang menjadi objek kesadaran kita) yang kita kenal. Pada abad 19, term ini diberi arti lain oleh Hegel, yaitu conversant about mind, pengetahuan tentang pikiran. Menurutnya, jika kita membaca pikiran semata-mata dengan pengamatan dan penggeneralisasian berbagai fenomena dalam penampakan dirinya, maka kita hanya akan memperoleh satu bagian dari pengetahuan mental, dan inilah yang disebut phenomenology of mind.
Moritz Lazarus memakai kata ini menjelaskan perbedaan antara phenomenology dan psychology. Yang pertama dimaksudkan untuk menggambarkan kehidupan mental (mental life) dan yang kedua mencari penjelasan sebab akibat (causal explanation) kehidupan mental.
Filsafat Husserl dikembangkan melalui tiga tahap.
Pertama, dia merobohkan posisi ilmuwan psikologi psikometrik yang kukuh dengfan dasar-dasar aritmatikanya. Bahkan, dia berusaha keras membuktikan sikap anti psikologistik melalui dasar-dasar logika objektif dan matematis. Kedua, dia bertolak dari filsafat konsepsional sebagai akar psikologi deskriptif Brentanian untuk mengembangkan sebuah disiplin baru mengenai “fenomenologi” dan sebuah posisi yang bersifat metafisik yang disebut “transendental idealism”, dan ketiga, dia mentransformasikan fenomenologinya yang pada awalnya disamakan dengan metode solipsisme ke dalam suatu fenomenologi intersubjektif yang berujung ke dalam suatu pandangan hidup ontologis yang mencakup dunia sosial tentang budaya dan sejarah.
Ketiga tahapan perkembangan fenomenologi Husserl ini merupakan respon filosofisnya terhadap situasi sosial dan budaya masyarakat Eropa pada saat itu. Husserl berpendapat bahwa penyebab terjadinya bkrisis manusia Eropa saat itu karena mereka meninggalkan sikap dan semangat Yunanian yang mempercayai adanya kebenara dan
validitas universal (“universally valid thruth”). Semangat ini kata Husserl, pernah menyatukan perbedaan Barat selama beberapa abad. Namun, karena mereka mengingkari sikap ini, maka krisis pun tidak terhindarkan. Untuk menyelamatkan krisis peradaban Eropa, dia menegaskan perlunya dilakukan rehabilitasi terhadap gagasan-gagasan kepastian rasional dengan cara kembali kepada metode fenomenologi, sebagai konsekuensi logis dari “proyek” rehabilitasi ini. Begitulah ketika ia mengkritik para pendukung metode sains natural seperti pragmatisme, “naturalisme” atau “psikologisme” kaum positivistik yang menurutnya bertanggung jawab atas krisis humanitas tersebut.























BAB III
PENUTUP
3.1.    Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sebenarnya pendekatan agama itu dapat di lakukan dengan brbagai metode yaitu :
-    pendekatan teologis yaitu pendekatan agama secara harfiah dapat diartikan sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan.
-    Pendekatan Yuridis adalah hukum, jadi yamg dmaksud dengan pendekatan yuridis adalah pemahaman agama islam secara hukum menurut islam.
-    Pendekatan Psikologi atau Ilmu Jiwa adalah ilmu yang mempelajari jiwa seseorang melalui gejala perilaku yang dapat diamatinya.
-    Pendekatan Historis adalah ilmu yang didalamnya membahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, obyek, latar belakang, dan pelaku dari peristiwa tersebut.
-    Pendekatan Antropologis yaitu suatu upaya untuk memahami agama dengan cara melihat praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam suatu masyarakat.
-    Pendekatan Sosiologis adalah ilmu yang mempelajari kehidupan manusia dalam tata kehidupan bersama.
-    Pendekatan Filsafat yaitu sebagai pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai sebab-sebab, asas-asas, hukum dan sebagainya terhadap segala yang ada dialam semesta ataupun mengenai kebenaran dan arti adannya sesuatu.



3.2.    Saran
Demikian makalah tentang Berbagai Pendekatan Konteks Studi Islam yang sudah kami paparkan. Kami menyadari makalh kami jauh dari sempurna maka dari itu kritik yang membangun dari pembaca sangat kami harapkan, untuk perbaikan makalah ini. Harapan dari pemakalah, semoga maklah ini dapat memberi pengetahuan baru dan bermanfaat bagi kita semua. Amin.


DAFTAR PUSTAKA