Rabu, 15 Mei 2013

PERNIKAHAN

MAKALAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Hadits (PGMI-2B)
Dosen Penganpu : H. Fakhrur Rozi, M. Ag








Disusun Oleh :
Maftukhatul Atik        (123911066)
Mardhiatun Sholikhah        (123911067)
Marisatunniyyah        (123911068)
Mughfiroh            (123911069)
Muhammad Abu Naim    (123911070)



FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013 
I.    PENDAHULUAN
Maha suci Allah yang telah menciptakan makhlukNYA berpasang-pasangan sesuai dengan jenisnya. Islam merupakan agama yang mempunyai hukum secara universal yang telah diatur dalam Al Qur’an dan Hadits. Sesungguhnya satu-satunya petunjuk bagi manusia adalah petunjuk yang datangnya dari Allah SWT. Untuk itu bagi seseorang yang ingin menikah maka keduanya harus saling memahami, mencintai, dan mengasihi.
Islam sangat memperhatikan keluarga, islam juga memberikan penjelasan yang nyata bahwa betapapun keluarga itu harus diwarnai dengan rasa cinta dan kasih sayang. Tetapi, tujuan pernikahan sebenarnya adalah untuk menjalankan sunnah Rasul dan melahirkan keturunan atau generasi yang menjaga nilai-nilai ajaran Islam.
II.    RUMUSAN MASALAH
A.    Jelaskan Pengertian, Hukum dan Tujuan Pernikahan!
B.    Apa saja Rukun dan Syarat Sah Pernikahan?
C.    Apa saja Larangan Pernikahan?
D.    Sebutkan beberapa Hadits tentang Pernikahan!
E.    Sebutkan Hikmah Melakukan Pernikahan!

III.    PEMBAHASAN
A.    Pengertian Pernikahan
Perkawinan disebut juga “pernikahan”, berasal dari kata nikah نكاح) (yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukan dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi). Kata “nikah” sendiri sering dipergunakan untuk arti persetubuhan (coitus), juga untuk arti akad nikah.
Nikah menurut istilah ialah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafaz nikah atau dengan kata-kata yang semakna dengannya. 
Pengertian diatas tampaknya dibuat hanya melihat dari satu segi saja, yaitu kebolehan hukum dalam hubungan antara seorang laki-laki dan seorang wanita yang semula dilarang menjadi diperbolehkan. Padahal setiap perbuatan hukum itu mempunyai tujuan dan akibat. Dalam hal ini, Muhammad Abu Ishrah memberikan definisi yang lebih luas yang juga dikutip oleh zakiah drajat:
Pernikahan adalah akad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami istri) antara pria dan wanita dan mengadakan tolong menolong dan member batas hak bagi pemiliknya serta pemenuhan kewajiban bagi masing-masing.
Dari pengertian ini pernikahan mengandung aspek akibat hukum, melangsungkan pernikahan ialah saling mendapat hak dan kewajiban serta bertujuan mengadakan hubungan pergaulan yang dilandasi tolong menolong. Karena pernikahan termasuk pelaksanaan agama, maka di dalamnya terkandung adanya tujuan/maksud mengharapkan keridhaan Allah SWT.
Islam menganjurkan orang berkeluarga karena dari segi batin orang dapat mencapainya melalui berkeluarga yang baik, seperti dinyatakan dalam salah satu sabda Nabi SAW. Riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Ibn Abbas:
Artinya: Hai para pemuda, barangsiapa yang telah sanggup diantara kamu untuk menikah, maka menikahlah, karena sesungguhnya menikah itu dapat mengurangi pandangan( yang liar) dan lebih menjaga kehormatan.
a.    Hukum Melakukan Pernikahan
Hukum taklifi untuk pernikahan disebut oleh beberapa ulama dengan istilah sifat yang disyari’atkan dalam sebuah pernikahan. Sifat tersebut berbeda-beda sesuai dengan kondisi seseorang, yaitu dilihat dari sisi kemampuannya dalam menunaikan kewajibannya dan dari sisi rasa takut akan terjerumus pada jurang kemaksiatan. Untuk itu, hukum perkawinan bagi seorang mukalaf itu ada lima macam.
1.    Wajib
Bagi orang yang sudah mempunyai kemauan dan kemampuan menikah dan dikhawatirkan akan tergelincir pada perbuatan zina seandainya tidak menikah, maka hukum menikah bagi orang tersebut adalah wajib.
2.    Sunnah
Orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk menikah, tetapi kalau tidak menikah tidak dikhawatirkan akan berbuat zina, maka hukum melakukan pernikahan bagi orang tesebut adalah sunnah.
3.    Haram
Bagi orang yang tidak mempunyai niat bertanggung jawab dalam rumah tangganya, menelantarkan keluarganya di kemudian hari (berniat menyakiti istri), maka menikah bagi orang tersebut hukumnya adalah haram.
4.    Makruh
Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan pernikahan juga cukup mempunyai kemampuan untuk menahan diri sehingga tidak memungkinkan dirinya tergelincir berbuat zina jika tidak menikah, maka hukumnya adalah makruh.
5.    Mubah
Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya, tetapi apabila tidak melakukannya tidak khawatir akan berbuat zina dan apabila melakukannya juga tidak akan menelantarkan istri. Pernikahan orang tersebut hanya didasarkan untuk memenuhi kesenangan bukan dengan tujuan menjaga kehormatan agamanya dan membina keluarga sejahtera. Apabila mempunyai keragu-raguan dalam hal ini juga sama yaitu hukumnya mubah.
b.    Tujuan pernikahan
Tujuan pernikahan menurut agama islam adalah untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga. Sejahtera artinya terciptanya ketenangan lahir dan batin disebabkan terpenuhinya keperluan hidup lahir batinnya, sehingga timbullah kebahagiaan yakni kasih sayang antar anggota keluarga.
Allah SWT mengatur hidup manusia dengan aturan pernikahan. Jadi, aturan pernikahan menurut islam merupakan tuntunan agama yang perlu mendapat perhatian, sehingga tujuan melakukan pernikahan pun hendaknya ditujukan untuk memenuhi petunjuk agama. Sehingga dapat disimpulkan ada dua tujuan orang melangsungkan pernikahan ialah memenuhi nalurinya dan memenuhi petunjuk agama.
B.    Rukun dan Syarat Pernikahan
a.    Rukun pernikahan:
1.    Adanya calon suami dan istri yang akan melangsungkan pernikahan,
2.    Wali(dari pihak wanita),
3.    Adanya dua orang saksi,
4.    Sighat akad nikah, yaitu ijab kabul yang diucapkan oleh wali atau wakilnya dari pihak wanita, dan dijawab oleh calon pengantin laki-laki.
Pendapat diatas ialah menurut jumhur ulama’. Dan masih banyak pendapat lain mengenai rukun nikah.
Mahar yang harus ada dalam setiap pernikahan tidak termasuk kedalam rukun, karena mahar tersebut tidak mesti disebut dalam akad pernikahan dan tidak mesti diserahkan pada waktu akad itu berlangsung. Dengan demikian, mahar itu termasuk ke dalam syarat pernikahan.
b.    Syarat Sahnya Pernikahan
Pada garis besarnya syarat sahnya melakukan pernikahan itu ada dua:
1.    Calon mempelai perempuan halal dikawini oleh laki-laki yang ingin menjadikannya istri. Jadi, perempuannya itu bukan orang yang haram dinikahi, baik karena haram dinikah untuk sementara atau selama-lamanya.
2.    Akad nikahnya dihadiri oleh para saksi.
C.    Larangan pernikahan
Secara garis besar, larangan nikah antara seorang pria dan wanita menurut Syara’ dibagi menjadi dua, yaitu halangan abadi dan halangan sementara. Yang telah disepakati ada tiga: nasab, pembesanan, dan sesusuan. Sedangkan yang diperselisihkan ada dua: zina dan li’an.
a.    Larangan karena Pertalian Nasab: ibu, anak perempuan, bibi, saudara perempuan, kemenakan.
b.    Larangan karena hubungan sesusuan: Ibu susuan, nenek susuan, bibi susuan, kemenakan susuan perempuan, saudara susuan perempuan.
Yang dimaksud dengan susuan yang mengakibatkan keharaman pernikahan ialah susuan yang diberikan kepada anak yang memang masih memperoleh makanan dari air susu.
Mengenai berapa kali seorang bayi menyusui pada seorang ibu yang akan menimbulkan keharaman pernikahan jumlahnya tidak dibatasi, asal seorang bayi telah menyusu dan merasa kenyang pada seorang ibu menyebabkan haramnya pernikahan. Dan masih banyak pendapat lainnya.
c.    Wanita yang Haram dinikahi karena hubungan Mushaharah(Pertalian Kerabat Semenda)
Yang haram dinikahi dalam hal ini antara lain adalah, mertua perempuan, anak tiri, menantu, ibu tiri.
d.    Wanita yang Haram dinikahi karena Sumpah Li’an
Seorang suami menuduh istrinya berbuat zina tanpa mendatangkan empat orang saksi. Maka suami itu diharuskan bersumpah 4 kali dan yang ke-5 kali dilanjutkan bersedia menerima laknat Allah apabila tindakannya itu dusta. Apabila terjadi sumpah li’an antara suami istri maka putuslah hubungan pernikahan keduanya untuk selama-lamanya.
e.    Wanita yang Haram dinikah bersifat sementara
1.    Dua perempuan bersaudara haram dinikahi laki-laki dalam waktu yang bersamaan.
2.    Wanita yang terikat perkawinan dengan laki-laki lain.
3.    Wanita dalam masa ‘iddah,
4.    Wanita yang ditalak tiga, haram dinikahi bekas suaminya kecuali sudah menikah lagi dengan orang lain dan melakukan hubungan badan.
5.    Wanita musyrik, menyembah selain Allah. Adapun wanita ahli Kitab, yakni wanita Yahudi dan Nasrani boleh dinikah.
D.    Hadit-hadits tentang Pernikahan
1.    Hadits Abu Hurairoh tentang kategori pemilihan jodoh
عَنْ أبِي هُرَيْرَةَ رَضِي الله عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تُنْكَحُ الْمَرْاَةُ لِاَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِدِيْنِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدَّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ (أخرجه البجاري في كتب النكاح)
Artinya: “Dari Abu Hurairah ra. (ia berkata), dari Nabi SAW. beliau bersabda: “Perempuan itu dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya. Maka hendaklah engkau memilih (perempuan) yang baik agamanya, niscaya kamu akan beruntung”. (dikeluarkan dari HR. Bukhori dalam Kitab Nikah)

 Dari keempat kriteria diatas, memilih perempuan untuk dinikahi berdasar agamanya adalah anjuran nabi Muhammad SAW. Hal ini sejalan dengan tujuan pernikahan yakni untuk menghasilkan keturunan yang baik pula, yang mana kelak akan menjadi penerus perjuangan agama Islam. Keturunan yang seperti inilah yang dimaksud oleh rasulullah sebagai keturunan yang dapat memperbanyak umat beliau. Oleh karena itu, buah yang baik akan sulit dihasilkan kecuali oleh pohon yang baik pula. Empat kriteria yang disebutkan dalam hadis diatas merupakan hal yang menjadi kebiasaan seorang laki laki ketika memilih perempuan sebagai  jodohnya. Namun Rasullallah menekankan untuk mengutamakan agama sebagai prioritas dibandingkan 3 kriteria yang lain. Nabi menyuruh kita mengutamakan mencari yang beragama bukan berarti Nabi melarang kita untuk mencari yang cantik, tetapi yang dilarang adalah mengutamakan yang cantik daripada yang beragama
Dalam hal memilih jodoh, Nabi SAW. Menganjurkan hendaknya seorang laki-laki mengetahui benar terhadap calon pasangan yang di inginkan, sebelum menikahinya. Hal ini agar tidak keliru atau salah dalam mengambil keputusan sehingga akan merusak tujuan utama pernikahan. Walaupun demikian, sepatutnya seorang laki-laki tidak mengumbar nafsunya dalam melihat calon istrinya, kecuali sekedar melihat wajah dan tangannya agar dapat diketahui secukupnya tentang kecantikan dan kepribadiannya.
2.    Hadits Abdullah bin Mas’ud tentang anjuran untuk menikah
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيْدَ عَنْ عَبْدِاللهِ قَالَ قَال لَنَا رَسُوْلُاللهِ صَلَّى الله عَلَيْه وَسَلَّمَ يَامَعْشَرَ الشَّبَبِ مَنِ
اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ  فَأِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِا لصَّوْمِ فَأِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ(أخرجه مسلم في كتاب النكاح)
Artinya: “Dari Abdurrahman bin Yazid, dari Abdullah (dia) berkata, berkata Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam: “Hai para pemuda! Barang siapa yang mampu beristri, hendaklah ia kawin; karena perkawinan itu berpengaruh besar untuk menundukkan mata (dari memandang wanita yang bukan keluarga) dan tangguh menjaga alat vital. Barang siapa yang tak sanggup kawin, hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu alat penahan nafsu birahi”.[5] (dikeluarkan dari HR. Muslim dalam Kitab Nikah)
Hawa nafsu adalah kecenderungan untuk memenuhi syahwat, Barang siapa yang memanjakan hawa nafsunya, maka hawa nafsu tersebut akan menyeretnya ke berbagai perbuatan maksiat dan dosa, dan memperosokkannya ke dalam sikap melanggar syari’at Allah.
Untuk mencegah manusia agar tidak menuruti syahwatnya adalah dengan pernikahan, dengan nikah seseorang akan mendapat tempat yang halal untuk menyalurkan syahwat. Nikah itu di sunahkan bagi orang yang sudah mempunyai hasrat menikah dan mampu dalam segi materi. Apabila sudah punya hasrat menikah tetapi belum mampu dalam segi materi maka dianjurkan untuk menahan syahwatnya dengan cara berpuasa. Sedangkan apabila seseorang tidak mempunyai keinginan untuk menikah dan tidak mampu dalam segi materi maka menikah hukumnya makruh, bahkan jika menikah itu hanya akan membuat seorang istri menderita, maka nikahnya itu haram hukumnya. Nabi Muhammad SAW menganggap bahwa menikah itu bagi seorang muslim sebagai separuh ajaran agama karena dengan menikah ini akan dapat melindungi seseorang dari kekacauan jiwa, perzinaan, dan perbuatan yang akan menjerumuskan berbagai tindak kejahatan lainnya.






3.    Hadits Aisyah tentang Nikah sebagai sunnah Nabi

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُاللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ النِّكَاحُ مِنْ سُنَّتِي فَمَنْ لَمْ يَعْمَلْ بِسُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي وَتَزَوَّجُوا فَأِ نِّي مُكَا ثِرٌ بِكُمُ الامَمَا وَمنْ كَانَ ذَاطَوْلٍ فَلْيَنْكِحْ وَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَعَلَيْهِ بِا لصِّيَام فَأِنَّ الصَّوْمَ لَهُ وِجَاءٌ(أخرجه انب ما جهفي كتا ب النكاح)
Artinya: “Dari ‘Aisyah, Dia berkata Rasulullah SAW bersabda: Nikah itu sebagian dari sunahku, barang siapa yang tidak mau mengamalkan sunahku, maka dia bukan termasuk golonganku. Dan menikahlah kalian semua, sesungguhnya aku (senang) kalian memperbanyak umat, dan barang siapa (diantara kalian) telah memiliki kemampuaan atau persiapan (untuk menikah) maka menikahlah, dan barang siapa yang belum mendapati dirinya (kemampuan atau kesiapan )  maka hendaklah ia berpuasa, sesungguhnya puasa merupakan pemotong hawa nafsu baginya.”(dikeluarkan dari HR. Ibnu Majah dalam Kitab Nikah)


4.    Larangan membujang

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُ بِالْبَاءَةِ وَيَنْهَى عَنِ التَّبَتُّلِ نَهْيًا شَدِيْدًا وَيَقُوْلُ تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ الْوَلُدَ أِنِّي مُكَاثِرٌ اْلأَنْبِيَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ(رواه احمد)

E.    Hikmah Melakukan Pernikahan
1.    Memperbanyak keturunan,
2.    Saling mengasihi antara laki-laki dan perempuan(suami-istri), membuahkan tali kekeluargaan, dan memperkuat hubungan kemasyarakatan yang oleh islam direstui.
3.    Untuk menjaga kehormatan dan kemuliaan,
4.    Menjaga diri dari syahwat dan perzinaan,
5.    Memelihara keturunan serta menjaganya,
6.    Menciptakan generasi sholeh-sholehah yang akan mendoakan orang tuanya ketika mereka meninggal.
7.    Jika anaknya yang masih kecil meninggal, maka menjadi syafaat bagi orang tuanya kelak.
8.    Menyadari tanggung jawab beristri dan menanggung anak akan menimbulkan sikap rajin dan sungguh-sungguh dalam memperkuat bakat dan pembawaan seseorang.


IV.    KESIMPULAN
Nikah menurut istilah ialah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafaz nikah atau dengan kata-kata yang semakna dengannya.
Secara lebih rinci definisi pernikahan adalah, akad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami istri) antara pria dan wanita dan mengadakan tolong menolong dan member batas hak bagi pemiliknya serta pemenuhan kewajiban bagi masing-masing.
Hukum melakukan pernikahan antara lain adalah: wajib, sunnah, haram, mubah, dan sunnah.
Tujuan pernikahan menurut agama islam adalah untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga. Sejahtera artinya terciptanya ketenangan lahir dan batin disebabkan terpenuhinya keperluan hidup lahir batinnya, sehingga timbullah kebahagiaan yakni kasih sayang antar anggota keluarga.


V.    PENUTUP
Demikian makalah dari kelompok kami, kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah kami selanjutnya. Mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semua. Aamiin Ya Robbal ‘alamin...

























DAFTAR PUSTAKA
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana    Perdana Media Group

 Drajat Zakiah, 1995. Ilmu Fiqh. Yogyakarta: Dana Bkakti Wakaf

Ghazali Abdul Rahman, 2010.  Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana

Ghazali Al, 2008. Mutiara Ihya’ Ulumuddin. Bandung: PT Mizan Pustaka

Mathlub Abdul Majid Mahmud, 2005. Panduan Hukum Keluarga Sakinah, Solo: Era Intermedia

Thalib M, 1995. 40 Petunjuk Menuju Perkawinan Islami. Bandung: Irsyad